JAKARTA, KOMPAS.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang menjadi usul inisiatif DPR belakangan menuai penolakan dari berbagai pihak. Bahkan, suara-suara yang menolak RUU tersebut tidak hanya berasal dari kelompok masyarakat sipil, tapi juga sejumlah anggota DPR.
RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 ini dianggap terlalu mengatur ranah privat warga negara yang seharusnya tidak menjadi urusan pemerintah.
Sejumlah pasal dinilai kontroversial, mulai dari soal perilaku penyimpangan seksual, hubungan suami-istri, hingga larangan donor sperma dan sel telur, serta surogasi atau sewa rahim.
Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi PAN Yandri Susanto mengaku memahami tujuan awal disusunnya RUU Ketahanan Keluarga, yaitu untuk membangun keluarga yang lebih harmonis. Namun, ia tak sepakat bila ranah privat terlalu dalam undang-undang.
“Kalau ngejelimet dan terlalu masuk privasi anggota keluarga itu menurut saya kurang pas,” kata Yandri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Baca juga: Wakil Ketua Komisi VIII Tak Sepakat RUU Ketahanan Keluarga Atur Ranah Privat
Hal senada diungkapkan oleh anggota Komisi VIII dari Fraksi PDI Perjuangan Diah Pitaloka. Ia berpendapat, seharusnya pengusul dapat membedakan substansi peraturan yang masuk ranah umum dan ranah privat, sebelum sebuah draf RUU disusun.
“Kalau urusan rumah tangga jelas ranah privasi. Dan RUU seharusnya tidak mengatur terlalu detail,” kata Diah.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Nasdem Lestari Moerdijat menilai, draf RUU ini terlalu mengintervensi keluarga. Ia pun menilai RUU ini tak perlu diproses.
“RUU Ketahanan Keluarga semestinya tidak tendensius, RUU itu mengabaikan HAM sekaligus melegitimasi posisi perempuan sebagai tiyang wingking (subkoordinat),” kata Lestari atau akrab disapa Rerie, seperti dikutip dari Antara.
Baca juga: Komnas Perempuan: Untuk Apa RUU Ketahanan Keluarga Dibuat?
Adapun Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad menilai, substansi RUU Ketahanan Keluarga kental perspektif patriarki.
Melalui RUU ini, perempuan seolah ditarik hanya boleh aktif di ranah domestik.
Hal ini pun bertentangan dengan visi pemerintah yang ingin menciptakan sumber daya manusia unggul. Dalam hal ini, perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk bisa berkontribusi lebih bagi negara.
“RUU ini spiritnya patriarki. Jadi menarik lagi perempuan ke ranah kerja-kerja domestik. Kalau orang Jawa itu, istilahnya sumur, dapur, kasur,” kata Bahrul kepada Kompas.com, Jumat (21/2/2020).
“Padahal, di era sekarang kita bersama-sama mendorong perempuan agar bisa setara dengan laki-laki, menempati posisi-posisi strategis di ranah publik,” imbuh dia.
Baca juga: Komnas Perempuan Kritik RUU Ketahanan Keluarga, Berspirit Patriarki
Bukan obyek yang harus selalu diatur
Rerie menegaskan, negara tidak perlu mengintervensi urusan rumah tangga seseorang. Sebab, pola asuh anak dan peran setiap anggota keluarga merupakan urusan internal keluarga itu sendiri.
Lebih jauh ia menyoroti keinginan pengusul RUU untuk mengatur urusan perempuan. Menurut dia, perempuan bukanlah obyek yang harus selalu diatur dan mengurusi pekerjaan rumah tangga semata.
Sementara, menurut Diah, setiap keluarga memiliki cara yang berbeda dalam menyelesaikan persoalan internal mereka.
Hal itu disebabkan keragaman latar belakang budaya dan agama masing-masing, sehingga mereka memiliki pendekatan yang berbeda dalam setiap menyelesaikan persoalan.
“Bingung juga itu nanti lembaga apa yang nangani. Urusan rumah tangga lapornya ke mana? Penanganannya gimana? Makanya saya menolak ranah privasi diatur dalam RUU ini,” ujar Diah.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: RUU Ketahanan Keluarga Abaikan HAM
Di lain pihak, Bahrul menyarankan, agar DPR segera merampungkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang belum selesai pada masa sidang sebelumnya.
RUU PKS dinilai akan memberikan perlindungan kepada perempuan, sehingga kontribusi mereka di masyarakat dapat lebih maksimal.
“Justru RUU PKS menjadi prioritas. Karena itu mendorong perempuan dalam kerja-kerja public dan perlindungan hak-hak perempuan di RUU PKS. Ketika kita bisa melindungi hak perempuan dengan baik, mereka bisa berpartisipasi di dalam masyarakat,” ujar Bahrul.
Mundur
RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh lima anggota DPR. Kelimanya yaitu anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani, anggota Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, anggota Fraksi Golkar Endang Maria Astuti, dan anggota Fraksi PAN Ali Taher.
Belakangan Endang Maria menyatakan menarik diri sebagai pengusul RUU ini. Ia mengaku, bahwa RUU ini merupakan usulan pribadi, bukan fraksi.
“Sebetulnya itu usulan pribadi dan memang sudah ditarik,” kata Endang kepada wartawan, Kamis (20/2/2020).
Baca juga: Anggota Fraksi Golkar Tarik Diri dari Pengusul RUU Ketahanan Keluarga
Ia mengaku, usulan RUU ini berangkat dari keprihatinannya atas maraknya praktik seks bebas hingga penggunaan narkoba di kalangan anak-anak dan remaja. Padahal, seharusnya hal-hal tersebut dapat dicegah, dan pencegahan itu dimulai dari level keluarga.
Sementara itu, Ali Taher menyatakan, tak mempersoalkan bila RUU ini tak jadi dibahas. Hanya, ia meminta, agar substansi di dalam RUU ini tidak ditarik ke ranah agama tertentu.
“Jangan anda melihat bahwa ini seolah-olah undang-undang ini adalah undang-undang Hukum Islam atau undang-undang yang memiliki kepentingan tertentu. Tidak ada. Enggak jadi juga enggak apa-apa,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa RUU ini dirancang untuk memberikan perlindungan bagi keluarga. Sebab, banyak persoalan rumah tangga yang tidak disentuh lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.