JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Aan Kurnia mengatakan, Laut Natuna Utara memerlukan perhatian khusus.
Oleh karena itu, pemerintah akan melakukan sejumlah langkah untuk mengantisipasi ancaman asing di perairan tersebut.
"Situasi di laut Natuna Utara memerlukan aksi cepat dan perhatian khusus," ujar Aan saat memberikan sambutan dalam penandatanganan kesepakatan bersama perihal pengawasan dan pengamanan pemanfaatan sumber daya ikan di Laut Natuna Utara di Mabes Bakamla, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2020).
Baca juga: Atasi Ancaman Asing, 13 Institusi Bekerja Sama Awasi Laut Natuna Utara
Aan mengatakan, pihaknya melakukan penandatanganan naskah kesepakatan bersama dalam rangka pemanfaatan sumber daya ikan di laut Natuna Utara.
Penandatanganan ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan hak berdaulat Indonesia atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Aan menyebut, pemerintah melaui Menko Polhukam dan Kementerian Kelautan dan Perikanan berencana mengerahkan sejumlah kapal ikan Indonesia sebagai bentuk penguatan secara de facto atas wilayah yuridiksi Indonesia di laut Natuna Utara.
"Untuk itu, seluruh instansi keamanan laut mendapatkan tugas melakukan pengawasan dan pengamanan yang dilakukan mulai dari kegiatan lintas laut dan penangkapan ikan di laut Natuna Utara hingga kegiatan bongkar muat dan pemasaran di sentra kelautan dan perikanan terpadu Selat Lampa," ucap Aan.
Ia juga mengatakan, kegiatan ini melibatkan asosiasi nelayan yang bertugas menyiapkan kapal ikan yang akan dimodifikasi.
Selain itu, ada Pertamina yang bertugas menjaga ketersediaan BBM bagi kapal ikan dan kapal patroli yang beroperasi di Laut Natuna Utara.
"Setelah penandatanganan kesepakatan bersama ini, akan dilanjutkan dengan penyusunan SOP sebagai pedoman pelaksanaan beserta rencana operasi yang juga melibatkan seluruh instansi terkait yang dikoordinasikan Kemenko Polhukam dengan leading sector-nya adalah Bakamla," ucap Aan.
Adapun 13 institusi yang melakukan penandatanganan adalah Kemenko Polhukam, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Tentara Nasional Indonesia.
Kemudian, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Keamanan Laut Republik Indonesia, PT Pertamina (Persero), Aliansi Nelayan Indonesia, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia dan Kelompok Nelayan Mandiri.
Baca juga: Cerita Ayu Winda Saat Observasi di Natuna, Sempat Terbayang Bakal Diperlakukan Ala Militer
Persoalan laut Natuna Utara bermula saat kapal pencari ikan dan coast guard milik China berlayar di kawasan Perairan Natuna yang berdasarkan Konvensi United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Pemerintah Indonesia mencoba jalur diplomasi untuk menyelesaikan masalah ini dengan melayangkan nota protes terhadap China melalui Duta Besar yang ada di Jakarta.
Sementara itu, TNI dan Bakamla terus disiagakan di Perairan Natuna yang masuk dalam Provinsi Kepulauan Riau untuk memantau kondisi di sana.
Penjagaan ini dilakukan karena sejumlah kapal milik China masih ada di sana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.