JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, ketidaksinkronan pada pasal per pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja terjadi, karena ada banyak kepentingan yang dimasukkan dalam RUU tersebut.
"Ada banyak kepentingan dan hal yang saling bertabrakan di sini, sehingga tidak dihindari ada ketidaksinkronan yang juga disebabkan pasal-pasal yang selama ini sudah berjalan," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Dasco mengaku, sudah memprediksi akan terjadi ketidaksinkronan antarpasal dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Sebab, untuk menyatukan pasal dalam satu undang-undang bukan hal yang mudah.
Baca juga: RUU Omnibus Law Cipta Kerja Dinilai Bakal Turunkan Pendapatan Daerah
"Kami prediksi (ketidaksinkronan) karena dalam menyatukan berbagai UU dan pasal memang tidak mudah," ujarnya.
Oleh karenanya, Dasco mengapresiasi banyaknya kritikan dari masyarakat terhadap RUU sapu jagat tersebut, sehingga pemerintah dapat melakukan perbaikan.
Ia mengatakan, perbaikan pasal yang disebut salah ketik oleh pemerintah dapat dilakukan pada saat pembahasan di DPR.
"Kalau menurut saya diperbaiki pada saat pembahasan bersama di DPR, pemerintah dengan DPR mana yang salah ketik, salah persepsi itu disamakan dan kemudian mari kita bahas bersama, lalu kita masukan pendapat dari publik," pungkasnya.
Seperti diketahui, Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah resmi diserahkan pemerintah kepada DPR pada Rabu (12/2/2020).
RUU Cipta Kerja terdiri atas 79 undang-undang dengan 15 bab dan 174 pasal.
Namun, RUU ini menjadi perbincangan publik karena terdapat pasal yang dinilai kontroversial.
Salah satunya adalah Pasal 170 yang menyatakan pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah Undang-Undang melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Baca juga: Indonesia Diprediksi jadi Penghasil Tenaga Kerja Murah jika RUU Cipta Kerja Disahkan
Kemudian, Pasal 251 yang menyatakan bahwa pemerintah bisa mencabut peraturan daerah (Perda) yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Bagi kepala daerah yang tetap memberlakukan perda yang telah dibatalkan perpres, akan diberi sanksi. Ketentuan tersebut dijelaskan pada Pasal 252. Saat ini, perda hanya bisa dibatalkan melalui uji materi di Mahkamah Agung (MA).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.