JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan, draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi menempatkan korporasi sebagaimana persekutuan dagang Belanda (VOC) pada masa kolonial.
Walhi menilai ada potensi negara melayani korporasi dan mengesampingkan masyarakat.
"Kami lihat posisi korporasi Indonesia ke depan itu seperti (zaman) VOC, yakni soal haknya terhadap sumber daya alam, bagaimana rakyat diisolasi untuk tidak punya hak, dan negara berperan melayani VOC," ujar Zenzi dalam konferensi pers di Kantor Walhi, Jakarta Selatan, Kamis (20/2/2020).
Baca juga: Kritik Omnibus Law Cipta Kerja, Walhi Nilai Jokowi Tak Tepati Janji
Ke depannya, Walhi berencana mencermati kembali sejarah pembentukan VOC sebelum masuk ke Indonesia.
"Kami mau periksa itu. Juga apa yang dibicarakan oleh para pembentuk VOC sebelum masuk ke Indonesia dalam merancang regulasi Hindia-Belanda," lanjutnya.
Zenzi kemudian memaparkan catatan Walhi atas hak korporasi yang diatur dalam draf RUU Cipta Kerja.
Pertama, draf RUU mengatur perihal penerbitan izin oleh pemerintah kepada korporasi tanpa mempertimbangkan lingkungan dan hak rakyat.
Baca juga: Migrant Care: Omnibus Law Cipta Kerja Sangat Cederai Buruh
Kedua, pemerintah tidak bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang akan terjadi.
Ketiga, korporasi diberikan dua keistimewaan, yakni investasi dikedepankan proses pelayanannya dan ada berbahaya impunitas terhadap korporasi dalam konteks hukum.
"Jadi sebenarnya korporasi ini dibuat supaya terbebas dari jangkauan hukum. Hal ini jika merujuk perbandingan draf RUU Cipta Kerja dengan aturan di UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)," ungkapnya.
Di UU PPLH, sanksi administratif itu baru diberikan kalau sudah diputuskan oleh pemerintah dan sudah masuk ke ranah pidana.
Baca juga: Omnibus Law RUU Cipta Kerja Bukan Draf Final, Menaker: Jangan Takut
Sementara itu, dalam draf RUU Cipta Kerja, kalau sanksi administrasi belum terpenuhi oleh perusahaan maka belum bisa dipidana.
Sebelumnya, dikutip dari Kontan.co.id, Ketua Task Force Omnibus Law Rosan P Roeslani mengungkapkan 11 poin dalam program omnibus law, di antaranya terkait pengenaan sanksi.
Rosan merinci, poin ini mengatur tentang sanksi terhadap perusahaan tidak bisa dalam bentuk pidana, tetapi denda saja atau perdata.
Baca juga: Masih Bingung Apa Itu Omnibus Law?
"Pengenaan sanksi itu lebih kalau perusahaan ini kena sanksi denda bukan pidana. Intinya itu kan, perusahaan ini garis besarnya saja," ujar dia di Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyoroti wacana dihapusnya hukuman pidana bagi korporasi lewat program omnibus law yang tengah digodok pemerintah.
Laode mengatakan, hukuman pidana terhadap korporasi merupakan suatu yang lumrah terjadi saat ini.
Ia menyebutkan, hilangnya hukuman pidana terhadap korporasi justru membawa hukum Indonesia ke masa lalu.
Baca juga: 5 Aturan dalam RUU Cipta Kerja yang Berpotensi Memiskinkan Buruh
"Mengapa itu korporasi itu harus bisa kita pertanggungjawabkan secara pidana, karena itu memang perkembangan dunia di mana-mana itu sekarang," kata Laode di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (19/12/2019).
Laode mencontohkan, Belanda yang dulu tidak menerapkan hukuman pidana korporasi kini sudah menerapkan ketentuan tersebut.
Ia juga menyebutkan, perusahaan otomotif Volkswagen dijatuhi hukuman pidana korporasi berupa denda di Amerika Serikat.
"Jadi jangan kita membuat hukum yang kembali ke masa kolonial, kita sudah milenial kembali ke kolonial," ujar Laode.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.