4. Tanda tangan Jokowi
Menurut Zainal Arifin Mochtar, penting untuk mengetahui alasan Presiden Joko Widodo tak menandatangani rancangan Undang-undang KPK hasil revisi.
Sebab, jangan-jangan, Jokowi tak memberikan tanda tangan karena bunyi RUU tak sesuai dengan keinginannya.
Seperti diketahui, dalam proses pembentukan undang-undang, keterlibatan presiden diwakilkan oleh menterinya.
Oleh karenanya, bukan tidak mungkin RUU yang dibahas DPR bersama pemerintah, dalam hal ini menteri Jokowi, tak mewakili keinginan presiden.
"Menjadi menarik untuk melihat UU Nomor 19 Tahun 2019 ini karena presiden tidak tanda tangan. Apa penyebab preisden tidak tanda tangan," kata Zainal.
Baca juga: Uji Materi UU KPK, Pakar Singgung Peran Menteri dalam Pembentukan UU
"Untuk mengetahui, karena jangan-jangan apa yang disampaikan menteri berbeda dengan apa yang diingkan presiden," lanjutnya.
Zainal mengatakan, di awal pembahasan revisi UU KPK, Jokowi menunjuk Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Reformasi, Birokrasi (Menpan RB) untuk mewakili pemerintah.
Seketika pembahasan terjadi dan dalam waktu singkat RUU KPK telah disahkan DPR. Proses pun berlanjut ke tahap persetujuan presiden.
Menurut Zainal, seharusnya, sebelum tahapan persetujuan, menteri yang mewakili pemerintah bertanya ke presiden, apakah RUU yang disusun sesuai dengan keinginan presiden atau tidak.
Apalagi, dalam sebuah proses pembahasan undang-undang, pasti terjadi tawar menawar dan negosiasi politik.
"Menurut saya seorang menteri harusnya kembali kepada presiden untuk menanyakan, pembahasan saya sudah sejauh ini, sudah mengingkari apa yang diinginkan oleh presiden, dan karenanya bolehkah presiden menyetujui atau tidak," ujar dia.
Baca juga: Denny Indrayana: Revisi UU KPK seperti Membunuh KPK
Dalam hal revisi UU KPK, Zainal menilai, menteri tak mengonfirmasi keinginan presiden. Sebab, begitu selesai pembahasan di parlemen, proses revisi langsung sampai ke tahapan persetujuan.
Jika benar draf RUU KPK hasil revisi tak ditandatangani Jokowi karena berbeda dari keinginannya, menurut Zainal, hal ini berpotensi melanggar Pasal 20 ayat (2) UUD 1945.
"Menurut saya itu pelanggaran formil yang nyata. Harusnya presiden yang hadir di situ. Hadir bukan dalam kehadiran fisik tapi maksudnya hadir dalam konsep persetujuan," kata dia.