Kelima, kewajiban keluarga melaporkan anggotanya yang mengalami penyimpangan seksual kepada badan yang menangani ketahanan keluarga. Aturan itu diatur pada Pasal 86 hingga Pasal 89.
Di dalam aturan penjelasan untuk Pasal 85, ada empat hal yang disebut sebagai tindakan penyimpangan seksual.
Pertama sadisme, yaitu cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.
Baca juga: Dalam Draf RUU Ketahanan Keluarga Diatur Larangan Aktivitas BDSM
Kedua, masochisme yaitu kebalikan dari sadisme berupa cara seseorang mendapatkan kepuasan seksual melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
Ketiga homosex dan lesbian yakni merupakan masalah identitas sosial di mana seseorang mencintai atau menyenai orang lain yang jenis kelaminnya sama.
Keempat, incest yakni hubungan seksual yang terjadi antara orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, atau menyamping, sepersusuan, hubungan semenda, dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.
Menurut pengusul RUU, pelaporan ini agar mereka mendapatkan pengobatan atau rehabilitasi.
Adapun bentuk rehabilitasi yang nantinya bisa diterima berupa rehabilitasi sosial, psikologis, bimbingan rohani hingga medis sebagaimana diatur pada Pasal 85.
Pro-kontra
Kemunculan RUU ini pun menuai banyak tanggapan karena muatan pasalnya yang cukup kontroversial.
Salah satu pengusul, Sodik Mujahid, mengatakan, perlunya sejumlah aturan diatur di dalam RUU ini adalah demi menegakkan nilai-nilai Pancasila.
Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Atur LGBT Harus Lapor, Pakar: Itu Diskriminatif
Sebagai contoh, perilaku penyimpangan seksual, menurut dia, bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
"Ini yang menjadi diskusi kita. Apakah homoseksual privat atau tidak? Ketika masif, mengganggu bangsa atau tidak? Mengganggu umat manusia tidak?" kata Sodik, Selasa (18/2/2020).
Rekan satu partai Sodik yang juga Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan bahwa RUU ini merupakan usulan perseorangan, bukan usulan fraksi.
Oleh karena itu, seluruh pasal yang ada di dalamnya perlu dicermati secara mendalam.
Meski demikian, ia menegaskan, DPR tak ingin menghasilkan UU yang berpotensi menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menilai, norma-norma yang hendak diatur di dalam RUU Ketahanan Keluarga terlalu mengatur norma etika dan ranah privat warga negara.
"Ada banyak hal yang mendesak untuk dibuatkan aturan, kemudian masak soal keluarga diatur (dalam UU)? Itu (menyangkut) norma etika yang merupakan kesalahan terbesar jika diatur dalam UU," ujar Feri di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2020).
Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Atur LGBT hingga Sadomasokis, Ini 5 Pengusulnya
Sejalan dengan Feri, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung meminta DPR dan pemerintah tidak menghasilkan UU yang berpotensi menimbulkan diskriminasi.
"Komnas HAM mengingatkan kepada para pembuat kebijakan dan juga publik secara umum bahwa saat ini Indonesia adalah anggota Dewan HAM, sehingga sudah seharusnya rancangan kebijakan yang akan dihasilkan sesuai standar dengan prinsip dan norma hak asasi manusia," kata Beka ketika dihubungi Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.