Komnas HAM mengingatkan Pemerintah dan DPR agar tidak menghasilkan peraturan yang diskriminatif.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, saat ini Indonesia telah menjadi anggota Dewan HAM PBB sehingga kebijakan yang dibuat seharusnya tak bertentangan dengan prinsip HAM.
"Komnas HAM mengingatkan kepada para pembuat kebijakan dan juga publik secara umum bahwa saat ini Indonesia adalah anggota Dewan HAM, sehingga sudah seharusnya rancangan kebijakan yang akan dihasilkan sesuai standar dengan prinsip dan norma hak asasi manusia," kata Beka, Rabu (19/2/2020).
Salah satu poin yang dinilai diskriminatif dalam RUU tersebut adalah ketentuan wajib lapor bagi keluarga atau individu homoseksual dan lesbian.
Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Atur LGBT Harus Lapor, Pakar: Itu Diskriminatif
Ia menegaskan, setiap orang tidak boleh dibatasi orientasi seksualnya.
"Kalau seseorang diwajibkan melapor karena orientasi seksualnya tentu saja tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan diskriminatif," ucap Beka.
Urusi ranah privat
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, RUU Ketahanan Keluarga terlalu mengatur norma etika dan ranah privat warga negara.
Sementara itu, ada banyak persoalan publik yang lebih mendesak untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan.
"Ada banyak hal yang mendesak untuk dibuatkan aturan, kemudian masak soal keluarga diatur (dalam UU)? Itu (menyangkut) norma etika yang merupakan kesalahan terbesar jika diatur dalam UU," ujar Feri di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2020).
Feri menuturkan, hal yang perlu diatur oleh negara adalah persoalan yang berkaitan dengan khalayak umum dan kepentingan publik.
Sementara itu, perihal kewajiban anak patuh kepada orangtua, kewajiban sebagai suami dan istri masuk kepada ranah etika yang sudah hidup sebagai norma masyarakat dalam waktu yang lama.
"Tiba-tiba di keluarga ternyata ada perbedaan pandangan, lalu langsung jadi sanksi pidana. Padahal perbedaan itu bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan," ucap Feri.
Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga, Kamar Orangtua, Anak Laki, dan Perempuan Harus Pisah
Dia juga mengingatkan, RUU Ketahanan keluarga bisa melanggar HAM pada titik tertentu.
"Misalnya perempuan harus di rumah. Padahal setiap orang berhak menentukan sendiri, atau ada kesepakatan antara suami dengan istri. Kemudian, bagaimana jika ternyata istri juga bekerja di sektor informal dari rumah, atau suami bekerja di sektor informal di rumah?" ucap Feri.
"Untuk hal-hal seperti itu saya kira negara tidak perlu masuk ke ruang keluarga. Akan jadi aneh kalau negara masuk. Negara bisa masuk dalam ruang yang merugikan publik, kalau di ranah privat masuk juga itu kesalahan fatal dan tentu melanggar HAM," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.