JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai, proses revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berjalan sebagaimana ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
Sebab, menurut Bivitri, di antaranya karena ada persoalan kuorum dan perbedaan kehadiran fisik anggota DPR dengan daftar hadir rapat paripurna pengesahan revisi UU KPK pada September 2019 lalu.
Hal ini Bivitri sampaikan saat menjadi ahli dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK).
"Terkait dengan kuorum pengambilan keputusan, pertama ada perbedaan antara kehadiran fisik dan daftar hadir," kata Bivitri saat persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2020).
Baca juga: Kemungkinan Pembahasan Revisi UU KPK Tak Sesuai Keinginan Presiden
Bivitri mengatakan, sebagai anggota DPR, kehadiran secara fisik merupakan bentuk keterwakilan mereka atas demokrasi.
Oleh karenanya, kerja legislator tidak dapat disamakan dengan kerja profesional yang berdasar pada indikator performa.
Anggota DPR, lanjut Bivitri, punya kuasa untuk bicara di forum parlemen. Hal itu mungkin dilakukan hanya jika anggota DPR menghadiri rapat pengambilan keputusan.
Dengan demikian, dalam sebuah rapat parlemen, kehadiran fisik anggota DPR sangat diperlukan, bukan hanya kehadiran secara administratif.
"Kehadiran dalam bentuk daftar hadir bukanlah tujuan dari kuasa bersuara itu sendiri namun hanya alat administrastif. Pada akhirnya kehadiran fisiklah yang seharusnya dijadikan ukuran oleh Mahkamah untuk menilai apakah tindakan mewakili telah dilakukan oleh anggota DPR," ujar Bivitri.
Baca juga: Pakar Sebut Revisi UU KPK Terabas Aturan soal Partisipasi dan Kuorum Pembentukan UU
Bivitri menyebutkan, setiap anggota legislatif "berharga" suara puluhan ribu konstituen.
Dia menilai, logis jika setiap wakil rakyat harus mempertanggungjawabkan ke konsituennya hal-hal apa saja yang ia setujui ataupun tidak ia setujui.
Mengutip pernyataan Saldi Isra sebelum menjadi hakim MK, Bivitri mengatakan bahwa pembentukan dan persetujuan undang-undang adalah otoritas istimewa lembaga legislatif yang tidak dapat dibagikan ke lembaga lainnya.
Sebab, lembaga legislatif merupakan kumpulan orang yang mewakili rakyat.
Oleh karenanya, semua konstitusi negara modern punya syarat batas kehadiran minimal anggota legislatif dalam setiap pengambilan keptusan.
"Kehadiran minimal itulah yang dikenal dengan istilah kuorum," kata Bivitri.
Baca juga: Jokowi: Revisi UU KPK Itu Inisiatif DPR, 9 Fraksi Setuju...
Melihat proses revisi UU KPK, Bivitri menilai bahwa ada proses legislasi yang dilanggar.
Dia melanjutkan, dapat dikatakan bahwa proses tersebut melanggar hukum sehingga dipertanyakan validitasnya.
"Mahkamah Konstitusi perlu mengambil putusan yang sebaik-baiknya dengan melihat bagaiman proses pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ini bertentangan dengan aturan mengenai proses legislasi sehingga ia mempunyai masalah fundamental dalam hal daya laku, validitas, sehingga ia berdampak pula pada kepastian hukum," kata Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.
Untuk diketahui, rapat paripurna pengesahan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digelar di DPR 17 September 2019 lalu hanya disaksikan 102 orang legislator.
Namun, pengesahan revisi Undang-undang KPK menjadi undang-undang tetap berlanjut.
Sebab, rapat dinilai memenuhi syarat berdasarkan jumlah anggota DPR yang mengisi absensi, bukan mereka yang hadir di ruang rapat paripurna.
Baca juga: Di Sidang MK, Denny Indrayana Singgung soal Lobi di Balik Revisi UU KPK
Sebelumnya diberitakan, sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi masa jabatan 2015-2019 mengajukan uji formil Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang.
Selain ketiga nama itu, gugatan juga dimohonkan sepuluh pegiat anti korupsi, antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini Hadad.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.