Melihat proses revisi UU KPK, Bivitri menilai bahwa ada proses legislasi yang dilanggar.
Dia melanjutkan, dapat dikatakan bahwa proses tersebut melanggar hukum sehingga dipertanyakan validitasnya.
"Mahkamah Konstitusi perlu mengambil putusan yang sebaik-baiknya dengan melihat bagaiman proses pembentukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ini bertentangan dengan aturan mengenai proses legislasi sehingga ia mempunyai masalah fundamental dalam hal daya laku, validitas, sehingga ia berdampak pula pada kepastian hukum," kata Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.
Untuk diketahui, rapat paripurna pengesahan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digelar di DPR 17 September 2019 lalu hanya disaksikan 102 orang legislator.
Namun, pengesahan revisi Undang-undang KPK menjadi undang-undang tetap berlanjut.
Sebab, rapat dinilai memenuhi syarat berdasarkan jumlah anggota DPR yang mengisi absensi, bukan mereka yang hadir di ruang rapat paripurna.
Baca juga: Di Sidang MK, Denny Indrayana Singgung soal Lobi di Balik Revisi UU KPK
Sebelumnya diberitakan, sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi masa jabatan 2015-2019 mengajukan uji formil Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang.
Selain ketiga nama itu, gugatan juga dimohonkan sepuluh pegiat anti korupsi, antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Mochamad Jasin serta beberapa nama lain, yaitu Betty Alisjahbana, Ismid Hadad, dan Tini Hadad.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.