JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengkritisi pernyataan Kepala Sfaf Kepresidenan Moeldoko soal peristiwa Paniai.
Usman menilai pernyataan Moeldoko menunjukkan sikap anti terhadap penegakan HAM dan tabiat antikritik.
Moeldoko sebelumnya membantah Komnas HAM yang menyatakan bahwa peristiwa kekerasan pada Desember 2014 di Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
“Tidak ada kewenangan Presiden maupun istana untuk menyatakan sebuah peristiwa sebagai perkara pelanggaran HAM yang berat atau bukan. Yang disampaikan Kepala Staf Kepresiden Moledoko menunjukan sikap anti HAM, anti kritik, " ujar Usman dalam keterangan tertulis Amnesty Internasional Indonesia, Selasa (18/2/2020).
Bahkan, pernyataan Moeldoko bisa dianggap sebagai sikap pemerintah dan Presiden yang mendelegitimasi kerja Komnas HAM.
Baca juga: Belum Terima Laporan, Mahfud MD Enggan Tanggapi Kasus HAM Paniai
Padahal, kata Usman, laporan Komnas HAM itu bersifat projustisia yang hanya ditujukan kepada Jaksa Agung.
"Karenanya Jaksa Agung-lah yang paling wajib menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM. Pejabat lain di luar itu sebaiknya tidak berkomentar atas materi perkara," tegas Usman.
Dia mengingatkan, kematian warga Papua di Paniai itu tidak bisa dilihat secara terpisah dari kematian pada kasus lainnya.
Sebelumnya, Moeldoko membantah peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
Moeldoko menilai peristiwa Paniai bukan sebagai pelanggaran HAM berat lantaran tak ada instruksi dari atasan saat terjadi penembakan dan penusukan.
"Perlu dilihatlah yang benar. Paniai itu sebuah kejadian yang tiba-tiba. Harus dilihat dengan baik itu karena tidak ada kejadian terstruktur, sistematis. Enggak ada. Tidak ada perintah dari atas. Tidak ada," ujar Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (17/2/2020).
Moeldoko meminta peristiwa tersebut dilihat secara cermat sehingga Komnas HAM tak mengeluarkan kesimpulan yang keliru.
Baca juga: Peristiwa Paniai Pelanggaran HAM Berat, Dugaan Keterlibatan Aparat, hingga Janji Jokowi...
Ia menilai apa yang dilakukan satuan pengamanan di Paniai saat itu ialah tindakan yang tidak terencana.
"Menurut saya apa yang dilakukan oleh satuan pengamanan saat itu adalah sebuah tindakan yang kaget, tiba-tiba karena dia diserang masyarakat yang kaget, begitu. Sehingga tidak ada upaya sistematis," kata mantan Panglima TNI itu.
Diberitakan, Komnas HAM menetapkan peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.
Hal ini diputuskan dalam Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020.
"Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna Peristiwa Paniai pada 7 – 8 Desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (15/2/2020).
Menurut Taufan, keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh Tim Ad Hoc, yang bekerja selama 5 tahun mulai dari tahun 2015 hingga 2020.
Baca juga: Moeldoko Bantah Peristiwa Paniai Masuk Kategori Pelanggaran HAM Berat
Taufan menjelaskan, dalam Peristiwa Paniai terjadi kekerasan penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang yang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk.
Kemudian, 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan.
"Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut," ujarnya.
Adapun Komnas HAM telah mengirimkan berkas penyelidikan kepada Jaksa Agung pada 11 Februari 2020.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.