JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menanggapi pernyataan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko yang membantah peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
Anam menilai, hal tersebut sebagai pernyataan politik yang seharusnya tidak boleh diungkapkan.
"Kalau ada pernyataan siapa pun yang mengatakan bahwa kasus Paniai bukan pelanggaran HAM berat, sepanjang itu bukan Jaksa Agung sebagai penyidik dan bukan dengan SP3, maka semua statement itu adalah statement politik yang harusnya tidak boleh," kata Anam saat konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2020).
Baca juga: Moeldoko Bantah Peristiwa Paniai Masuk Kategori Pelanggaran HAM Berat
Menurutnya, pernyataan serupa sebaiknya dihindari karena penanganan peristiwa tersebut sudah masuk dalam kerangka penegakan hukum.
Anam mengungkapkan, terdapat dua dampak ketika seorang pejabat mengeluarkan pernyataan serupa.
Dalam pandangannya, pernyataan itu dapat memengaruhi atau bahkan memberi tekanan kepada institusi penegak hukum lain.
"Dimensi pertama adalah menjadikan penegak hukum di luar Komnas HAM, karena Komnas HAM dalam konteks ini juga penegak hukum, menjadikan penegak hukum di luar Komnas HAM di bawah tekanan. Dan itu buruk dalam konteks negara hukum," tuturnya.
Baca juga: Komnas HAM Temukan Indikasi Obstruction of Justice dalam Peristiwa Paniai
Kemudian, pernyataan serupa juga dinilai menimbulkan respons negatif.
Maka dari itu, ia berharap, penanganan peristiwa tersebut tetap dalam koridor hukum.
"Yang kedua, itu akan mendapat respons yang negatif, mencurigai wah ini ada intervensi, dan sebagainya. Makanya menurut kami, karena ini penegakan hukum, selesaikanlah dengan penegakan hukum. Ga boleh dengan statement-statement yang lain," ucap dia.
Dalam argumen Moeldoko, ia menilai tidak ada upaya sistematis dalam Peristiwa Paniai.
Baca juga: Kontras: Penetapan Peristiwa Paniai sebagai Pelanggaran HAM Berat Sudah Tepat
Anam pun memastikan bahwa peristiwa tersebut memenuhi unsur tersebut. Namun, ia mengaku tidak dapat membeberkan bukti karena bersifat rahasia.
"Apakah syarat sistematis atau meluas terpenuhi? Ya kalau ga terpenuhi kami juga ga akan menyimpulkan itu," kata Anam.
Bantah
Sebelumnya, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko membantah peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
Hal itu disampaikan Moeldoko menanggapi hasil Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM yang menyatakan peristiwa Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
Moeldoko menilai peristiwa Paniai bukan sebagai pelanggaran HAM berat lantaran tak ada instruksi dari atasan saat terjadi penembakan dan penusukan.
"Perlu dilihatlah yang benar. Paniai itu sebuah kejadian yang tiba-tiba. Harus dilihat dengan baik itu karena tidak ada kejadian terstruktur, sistematis. Enggak ada. Tidak ada perintah dari atas. Tidak ada," ujar Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin (17/2/2020).
Baca juga: Komnas HAM Tetapkan Peristiwa Paniai Masuk Pelanggaran HAM Berat
Moeldoko meminta peristiwa tersebut dilihat secara cermat sehingga Komnas HAM tak mengeluarkan kesimpulan yang keliru.
Ia menilai apa yang dilakukan satuan pengamanan di Paniai saat itu ialah tindakan yang tidak terencana.
"Menurut saya apa yang dilakukan oleh satuan pengamanan saat itu adalah sebuah tindakan yang kaget, tiba-tiba karena dia diserang masyarakat yang kaget, begitu. Sehingga tidak ada upaya sistematis," kata mantan Panglima TNI itu.
Diberitakan, Komnas HAM menetapkan Peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Soal Kasus Pembakaran Polsek, Kapolda Papua Tak Ingin Peristiwa Paniai Terulang
Hal ini diputuskan dalam Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020.
"Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7 – 8 Desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan dalam keterangan tertulis, yang diterima Kompas.com, Sabtu (15/2/2020).
Menurut Taufan, keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh Tim Ad Hoc, yang bekerja selama 5 tahun mulai dari tahun 2015 hingga 2020.
Baca juga: Keluarga Korban Penembakan Paniai Tolak Rp 4 Miliar yang Ditawarkan Pemerintah
Taufan menjelaskan, dalam Peristiwa Paniai terjadi kekerasan penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang yang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk.
Kemudian, 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan.
"Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.