Mengapa orang Indonesia begitu mudah menekan tombol share? Salah satu alasannya adalah karena tingkat kepercayaan mereka kepada sumber informasi.
Seperti yang tadi dikatakan, salah satu ciri masyarakat kolektif adalah memercayai opinion leader atau orang yang dianggap mewakili kebijaksanaan tertentu.
Baru-baru ini ada sebuah kasus ketika sebuah akun medsos atas nama seseorang yang dianggap pemuka agama menyebarkan foto yang menggambarkan sejumlah orang tergeletak di jalan raya sebuah kota.
Teks yang menyertai foto menyatakan bahwa kejadian yang ada dalam gambar terjadi di China sebagai akibat menyebarnya virus corona.
Konten medsos tersebut langsung mendapat reaksi dari orang-orang yang menjadi pengikut dari pemuka agama tersebut dan meyebarkannya.
Selang berapa lama, ditemukan foto yang sama, yang ternyata merupakan publikasi tahun 2014 tentang demonstrasi di Frankfurt, Jerman.
Artinya, konten medsos tadi jelas disinformasi, yang sayangnya sudah terlanjur disebarkan karena orang-orang begitu percaya kepada sumber informasi tersebut.
Dengan kecenderungan di atas, masyarakat Indonesia yang hidup secara kolektif dan kurang minat baca menjadi sangat rentan terpengaruh berita palsu.
Tidak heran apabila pada 2018, Kemkominfo sempat menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-7 dunia sebagai negara yang paling mudah percaya hoaks.
Tentu saja ini bukan sebuah prestasi, melainkan kondisi yang memprihatinkan.
Pers tentu saja memiliki peran yang mulia untuk memperjuangkan kebenaran dan mengembangkan opini masyarakat berdasarkan informasi yang akurat, seperti yang termaktub dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Dalam melaksanakan perannya itu, dunia pers yang sedang bertransformasi menjadi media fully digitalized mau tidak mau harus berjuang untuk bersaing dengan media sosial.
Riset yang saya lakukan sepanjang tahun 2015-2019 memperlihatkan bahwa media sosial menjadi elemen penting dalam produksi berita saat ini.
Dalam riset tersebut, setidaknya ada tiga media online besar di Indonesia yang menyatakan, mereka harus berusaha keras untuk mempertahankan loyalitas khalayaknya yang sudah banyak beralih ke media sosial.
Alasan mereka beralih adalah karena secara digital konten di media sosial lebih mudah diakses.
Selain itu, mereka lebih mudah memilih informasi mana yang dirasa penting untuk diakses karena mereka melihat topik yang sedang banyak diperhatikan oleh orang-orang dalam jaringan pertemanannya.
Cara yang paling lazim dilakukan oleh media, termasuk ketiga media online di Indonesia tersebut, adalah dengan turut bergabung dalam komunitas media sosial, kemudian menyebarkan tautan berita disertai lead yang membuat penasaran melalui akun media sosialnya.
Dengan demikian, khalayak yang lebih memilih mencari informasi di media sosial akan tergiring untuk masuk ke website media yang bersangkutan dengan cara mengeklik tautan tersebut dan mendapatkan informasi yang telah terverifikasi kebenarannya.
Cara kedua yang banyak dilakukan adalah dengan memanfaatkan konten-konten media sosial yang berkaitan dengan kejadian yang sedang aktual untuk dijadikan bagian dari naskah berita.
Konten-konten yang relevan dikumpulkan, kemudian diseleksi, lalu dimasukkan ke dalam tubuh berita sebagai kutipan. Cara ini yang kemudian dikenal dengan nama kurasi konten atau jurnalisme kurasi.
Jurnalisme kurasi telah berkembang di dunia sejak 2008, di saat masyarakat yang tadinya merupakan khalayak pasif dari media massa mulai bertambah aktif untuk membuat cerita sendiri.
Tentu saja hal ini dimungkinkan berkat kehadiran berbagai macam aplikasi media sosial yang sangat mudah untuk dipergunakan.
Pada praktiknya, Guallar dan Levia-Aguilera (2013) membuat sebuah model untuk menggambarkan proses jurnalisme kurasi.
Model ini disebut 4S, yang menggambarkan proses kurasi konten dalam empat fase berurutan: searching (mencari), selecting (memilih), sense making (memberi konteks untuk membuatnya masuk akal), dan sharing (berbagi).
Dari keempat fase tersebut, fase berbagi adalah aktivitas yang sangat penting dalam praktik jurnalisme kurasi.