JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pemohon uji materi Pasal 176 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada memperjelas alasan gugatannya.
Majelis menilai, dalam permohonan yang diajukan oleh wiraswasta bernama Hendra Otakan Indersyah itu, tidak dijelaskan alasan dari argumentasi bahwa Pasal 176 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 176 ayat (2) sendiri pada pokoknya mengatur bahwa tentang mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
Bahwa jika terjadi kekosongan jabatan, maka partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusulkan seorang calon yang nantinya akan diputuskan oleh DPRD.
"Di alasan-alasan permohonan, bapak menggunakan misalnya Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tentang kedaulatan rakyat, itu harus bapak jelaskan mengapa keberlakuan Pasal 176 ayat (2) itu dia melanggat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat," kata Hakim Saldi Isra dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/2/2020).
Baca juga: Aturan soal Pengisian Jabatan Wagub dalam UU Pilkada Kembali Digugat
"Karena mungkin bapak mengatakan ini dipilih di DPRD enggak menggambarkan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat itu misalnya harus dipilih begini, begini, itu harus dijelaskan betul," lanjut dia.
Dalam permohonannya, Hendra berargumen bahwa Pasal 176 ayat (2) UU Pilkada setidaknya bertentangan dengan dua pasal dalam UUD 1945.
Pertama, Pasal 1 ayat (2) yang bunyinya "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat".
Kedua, Pasal 18 ayat (4) yang menyebut, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Meski mendalilkan adanya pertentangan pasal, Hendra tidak memberikan penjelasan atas argumennya.
Menurut Saldi Isra, hal ini berpotensi menyebabkan gugatan Hendra menjadi tidak jelas atau kabur.
"Itu nanti permohonan bapak akan dikualifisir sebagai kabur. Kenapa? Bukan tugas hakim mencarikan argumentasinya. Itu tugas pemohon. Tugas kami menilai apakah argumentasi bapak terkait dengan pasal-pasal itu bisa dibenarkan atau tidak," ujar Saldi Isra.
Majelis hakim pun memberikan kesempatan bagi pemohon untuk memperbaiki permohonannya selama 14 hari.
Pemohon diminta untuk menyerahkan berkas perbaikan permohonannya paling lambat 26 Febuari 2020.
Diberitakan sebelumnya, ketentuan mengenai mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang dimuat dalam Undang-undang Pilkada kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: INFOGRAFIK: Dua Kandidat Wagub DKI, Ahmad Riza Patria dan Nurmansjah Lubis
Pemohon dalam pengujian perkara ini adalah seorang wiraswasta bernama Hendra Otakan Indersyah.
Ia menyoal Pasal 176 ayat (2) pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 yang pada pokoknya mengatur bahwa kekosongan jabatan wakil kepala daerah dapat diisi oleh calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Hendra menilai, ketentuan tersebut menghilangkan haknya untuk dapat ikut mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah karena dirinya bukan kader partai.
"Saya merasa hak konstitusional itu dirugikan dengan berlakunya Pasal 176 ayat 2 UU Pilkada. Yaitu saya tidak memperoleh peluang secukupnya untuk turut dicalonkan atau mencalonkan diri yaitu mulai penjaringan bakal calon, menjalani fit and proper test dalam pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta sisa masa bakti 2017-2022," kata Hendra dalam persidangan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/2/2020).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.