Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Veronica Koman dan Data Tahanan Politik Papua, Dianggap Sampah hingga Harapan Tarik Pasukan

Kompas.com - 12/02/2020, 08:12 WIB
Devina Halim,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Nama pengacara hak asasi manusia (HAM) Veronica Koman kembali ramai dibicarakan belakangan ini.

Meski berstatus sebagai tersangka dan sedang diburu Polri, Vero beberapa kali muncul ke publik.

Sebagai informasi, Vero ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan menyebarkan konten hoaks dan provokatif terkait kerusuhan di Papua dan Papua Barat.

Baru-baru ini, Vero dan sekelompok aktivis mengaku menyerahkan data berisi 57 tahanan politik serta 243 korban sipil yang tewas di Nduga, Papua, sejak Desember 2018 kepada Presiden Joko Widodo.

Baca juga: Dokumennya Disebut Sampah oleh Mahfud MD, Veronica Koman: Ini Memperdalam Luka Papua

Menurutnya, dokumen itu diserahkan saat Jokowi berkunjung ke Canberra, Australia, Senin (10/2/2020).

"Tim kami di Canberra telah berhasil menyerahkan dokumen-dokumen ini langsung kepada Presiden Jokowi. Dokumen ini memuat nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar, yang saat ini sedang ditahan di tujuh kota di Indonesia," ungkap Veronica melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (11/2/2020).

"Kami juga menyerahkan nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian,” sambung dia.

Baca juga: Mahfud Anggap Dokumen dari Veronica Koman untuk Jokowi Hanya Sampah

Vero mengungkapkan, Jokowi telah membebaskan lima tahanan politik Papua selama periode pertama pemerintahannya, pada tahun 2015.

Namun, pada periode keduanya, terdapat 57 tahanan politik yang sedang menunggu sidang. Dalam pandangannya, langkah itu akan memperburuk konflik di Papua.

Vero mengklaim, gubernur, pimpinan adat hingga mahasiswa telah memohon Jokowi untuk menarik pasukan dari Nduga sejak Desember 2018 mengingat banyaknya korban. Namun, hal itu tak kunjung terjadi.

Setelah menyerahkan data tersebut ke Jokowi, Vero pun mempertanyakan langkah presiden terhadap permintaan penarikan pasukan tersebut.

Baca juga: Veronica Koman Pertanyakan Jokowi soal Tarik Pasukan dari Papua, Ini Kata Polri

"Sekarang Presiden Jokowi sendiri yang sudah langsung pegang datanya, termasuk nama-nama dari 110 anak-anak dari total 243 sipil yang meninggal, akankah Presiden tetap tidak mengindahkan permintaan tersebut?" tuturnya.

Kata Polri soal penarikan pasukan

Menanggapi permintaan tersebut, Polri menegaskan tidak akan menarik personelnya yang bertugas di Papua.

"Tentunya tidak mungkinlah dalam suatu daerah itu akan ditarik kepolisian yang berjaga di situ," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Argo Yuwono di Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (11/2/2020).

Argo beralasan, polisi bertugas memberi pelayanan dan keamanan kepada masyarakat.

Dianggap sampah

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD turut angkat bicara mengenai pemberian dokumen tersebut ke Jokowi.

Baca juga: Veronica Koman Serahkan Data Tahanan Politik dan Korban Sipil Tewas Papua ke Jokowi

Mahfud menganggap dokumen itu hanya sampah.

"Itu anulah, kalau memang ada ya sampah saja lah," kata Mahfud di Istana Bogor, Selasa (11/2/2020) sore.

Mahfud yang turut mendampingi Jokowi di Negeri Kanguru juga tidak mengetahui apakah dokumen tersebut benar-benar sudah diserahkan langsung kepada Kepala Negara.

Sebab, Mahfud menyebutkan, banyak warga yang berebut untuk bersalaman dan menyerahkan surat ke Jokowi.

Baca juga: Tahanan Politik di Papua Dibebaskan, Tugas Pemerintah Masih Panjang

Memperdalam luka Papua

Vero pun berpandangan bahwa pernyataan Mahfud akan memperdalam luka orang Papua.

"Namun tetap sangat disayangkan, mengingat ini akan memperdalam luka orang Papua," ungkap Veronica kepada Kompas.com, Selasa (11/2/2020).

Kendati demikian, ia mengaku tidak terkejut dengan pernyataan Mahfud.

Vero teringat ketika Mahfud menyebut bahwa tidak ada lagi kasus kejahatan HAM pasca-reformasi 1998. Menurut dia, pernyataan Mahfud itu juga menyakiti hati rakyat.

Maka dari itu, ia berpandangan, sulit bagi korban untuk mendapat keadilan karena pelanggaran HAM tidak diakui oleh pemerintah.

Baca juga: Tahanan Politik Pengibar Bendera Kejora Papua Dibebaskan

"Boro-boro dapat keadilan, untuk diakui adanya pelanggaran saja pun tidak. Pernyataan ini memberikan sinyal makin suramnya penegakan HAM di era saat ini," ujar dia.

Pesimistis

Dengan munculnya pernyataan Mahfud, Vero mengaku pesimistis bahwa pemerintah akan menarik aparat keamanan dari Papua.

Lebih lanjut, Vero pun mempertanyakan bagaimana masyarakat Papua dapat menaruh harapan pada Jokowi.

"Tidak terlalu optimis memang, tetapi setidaknya sekarang kita sudah tahu, bahwa operasi militer di Nduga masih lanjut bukan karena Presiden Jokowi tidak tahu sudah makan banyak korban," ucap Vero.

"Panglima tertinggi negara ini sudah tahu, tapi operasi tersebut tetap dilanjutkan, kemudian orang Papua diminta harus tetap menaruh harapan pada Pak Jokowi?" kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com