JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 19 tenaga honorer mengajukan permohonan uji materi Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ke-19 tenaga honorer ini terdiri dari guru, tenaga kesehatan, hingga pegawai honorer teknis dan administrasi dari berbagai daerah.
Mereka mempersoalkan empat pasal yang ada dalam UU ASN, yaitu Pasal 6, Pasal 1 angka 4, Pasal 58 ayat (1), serta Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2).
Keempat pasal tersebut seluruhnya mengatur tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Baca juga: Penggugat UU ASN Ingin MK Maknai Tenaga Honorer Bagian dari PPPK
Pada Rabu (5/2/2020), Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pendahuluan untuk perkara pengujian undang-undang ini. Pemohon pun menyampaikan isi gugatan mereka.
Namun demikian, ada sejumlah catatan dari Majelis Hakim terkait permohonan perkara ini.
Bagian dari PPPK
Para tenaga honorer yang mengajukan uji materi UU ASN meminta MK memaknai PPPK bukan hanya sebagai pegawai yang diangkat dengan perjanjian kerja, tetapi juga mengkategorikan tenaga honorer sebagai salah satu bagian dari PPPK itu sendiri.
Ketentuan soal PPPK ini dimuat dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
"Jadi intinya begini, di Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 2014 itu kan disebut ASN terbagi dua, yang satu PNS, yang satunya lagi PPPK. Jadi yang PPPK itu seharusnya dimaknai PPPK itu ada honorer, guru tidak tetap atau seperti yang di Jakarta sekarang KKI (Kontrak Kerja Individu) namanya," kata Kuasa Hukum pemohon, Hechrin Purba, seusai persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (5/2/2020).
Baca juga: Kasihan Tenaga Honorer Kerja Bertahun-tahun kalau Ujungnya Diberhentikan
Kuasa pemohon mengatakan, yang diingkinkan oleh pemohon adalah pengakuan negara terhadap keberadaan tenaga honorer di Indonesia.
Pasalnya, menurut mereka, selama ini hak dan kesejahteraan tenaga honorer kerap diabaikan. Mereka tetap dipekerjakan tanpa ada aturan dan dasar hukum yang jelas mengenai tenaga honorer.
"Yang artinya tidak ada perlindungan bagi hak-hak mereka," ujar Kuasa Hukum pemohon Paulus Sanjaya dalam persidangan.
Dengan munculnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN ini, para pemohon menilai bahwa tenaga honorer telah kehilangan dasar atau pijakannya dalam hukum di Indonesia.
Sebab, undang-undang itu sama sekali tak mengatur keberadaan tenaga honorer.
"Di mana dalam undang-undang sebelumnya masih diatur," ujar Paulus.
Selain menggugat Pasal 6 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, pemohon juga menggugat Pasal 1 angka 4, Pasal 58 ayat (1), dan Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 1 angka 4 berbunyi, "Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan."
Sedangkan Pasal 58 ayat 1 berisi, "Pengadaan PNS merupakan kegiatan untuk mengisi kebutuhan Jabatan Administrasi dan/atau Jabatan Fungsional dalam suatu Instansi Pemerintah."
Terakhir, Pasal 99 menyebut, "(1) PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS", dan "(2) Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."