Selain itu, ada proyek strategis lain yang beresiko bila ditinggalkan, yakni restorasi bekas lokasi logging yang kini menjadi Taman Nasional Sebangau. Taman itu menjadi tempat tinggal bagi sekitar 600 orangutan Kalimantan.
Ia menjelaskan, di daerah itu terdapat 1.500 kanal yang dibangun dari kayu yang membutuhkan perawatan untuk memastikan lanskap setempat tetap basah sehingga terlindung dari kebakaran hutan.
"Ini (kanal) kalau tidak dirawat maka sebentar akan rusak atau kayu dicuri. Kalau canal blocking ini terbuka, risiko kebakaran tinggi. Kalau kami masih diperkenankan untuk membantu dan mendukung proyek itu, kami masih siap," kata Lukas.
Baca juga: Habitat Terusik Tambang dan Pembalakan Liar, Orangutan Masuk Kebun Warga di Kalbar
Kementerian LHK menyebutkan, WWF Indonesia selama ini tidak pernah menyampaikan laporan kemajuan kerja sama kepada pemerintah. Padahal, organisasi itu memiliki kerja sama di bawah kewenangan pemerintah.
Wiratno juga mempertanyakan tanggung jawab Dewan Pembina dan Badan Pengurus Yayasan WWF Indonesia yang tidak menyadari bahwa organisasinya telah melakukan pelanggaran prinsip kerja sama, pelanggaran kerja lapangan, dan pelanggaran substansi selama bertahun-tahun.
"WWF tidak menyampaikan laporan resmi kepada KLHK sebagai bagian dari implementasi perjanjian kerja sama. Apakah dibolehkan dan dibenarkan tindakan sepihak WWF seperti itu?" kata Wiratno.
"Ini jelas tidak bisa ditolerir karena WWF merusak tata kelola dalam suatu kerja sama dengan institusi pemerintah," ucap dia.
Baca juga: Karhutla di Sumatera dan Kalimantan, WWF Indonesia: Kebakaran Itu Buatan Manusia
Dugaan pelanggaran lainnya yakni adalah adanya kasus kebakaran hutan dan lahan di Jambi pada 2019 lalu.
Lokasi kebakaran itu berada di area konsesi restorasi ekosistem milik PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT), yang sebagian besar sahamnya dikuasai WWF Indonesia.