Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tujuh Pembelaan Pemerintah dan DPR atas Revisi UU KPK...

Kompas.com - 04/02/2020, 05:58 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (KPK), Senin (3/2/2020).

Agenda persidangan adalah mendengarkan keterangan Presiden atau pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang.

Hadir mewakili pemerintah, Staf Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Agus Hariadi. Sedangkan  Anggota Komisi III Arteria Dahlan mewakili DPR.

Baca juga: Kata Arteria, Agus dkk Tak Berkepentingan Lagi Gugat UU KPK

Persidangan ini menggabungkan empat gugatan yang dilayangkan oleh empat pemohon yang berbeda, salah satunya gugatan yang dimohonkan oleh Pimpinan KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo.

Keempat gugatan ini diperiksa dalam satu persidangan lantaran sama-sama menggugat UU KPK.

Selama persidangan, perwakilan pemerintah dan DPR memberikan keterangan mereka atas proses dan tujuan dari revisi UU KPK. Dalih demi dalih serta alasan demi alasan disampaikan Agus Hariadi dan Arteria Dahlan di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.

Baca juga: DPR Bantah Revisi UU KPK Tak Masuk Prolegnas Prioritas 2019

1. Dewan Pengawas dan tudingan pelemahan

Pemerintah membantah bahwa pembentukan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertujuan untuk melemahkan tubuh KPK.

Hal ini disampaikan Staf Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Agus Hariadi, saat menyampaikan keterangan dalam sidang lanjutan pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi.

"Bahwa para pemohon mendalilkan pembentukan dewan pengawas bertujuan untuk melemahkan pemberantasan korupsi, merupakan dalil yang tidak memiliki landasan secara yuridis dan konstitusional," kata Agus.

Baca juga: Staf Menkumham: Dewas KPK Tak Bertentangan dengan Hukum Antikorupsi

Agus mengatakan, pembentukan Dewan Pengawas KPK selain berdasar pada ketentuan UUD 1945, juga merujuk pada ketentuan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.

Pada Pasal 6 Konvensi UNCAC 2003 dijelaskan bahwa negara dapat membentuk badan yang dapat dimaknai sebagai kelembagaan dalam organ pemberantasan korupsi sesuai yang diperlukan.

Penambahan Dewan Pengawas pada organ pemberantasan korupsi secara yuridis dinilai tidak bertentangan dengan kaidah hukum antikorupsi. Sebaliknya, hal itu merupakan bagian dari kewajiban negara mengevaluasi dan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi.

Tidak hanya itu, lanjut Agus, pembentukan Dewan Pengawas juga bertujuan untuk menciptakan pola check and balances di tubuh KPK.

Sebab, tanpa adanya badan ini, kekuasaan KPK berpotensi menjadi absolut.

"Dalam rangka untuk menghilangkan kekuasaan yang bersifat absolut yang menekankan kekuasaan yang bersifat pararel yaitu sistem yang saling berhubungan dan bekerja sama dan saling sinergi dalam mencapai tujuan negara," ujar Agus.

Agus menambahkan, kedudukan Dewan Pengawas terhadap KPK tidaklah bersifat hierarkis. Melainkan, Dewan Pengawas secara searah bersama-sama dengan KPK melakukan tindakan pemberantasan korupsi.

Oleh karenanya, ia menegaskan pembentukan bahwa Dewan Pengawas tidak bertentangan dengan prinsip hukum pemberantasan korupsi.

2. Keadilan pada izin penyadapan

Di hadapan Mahkamah, Agus Hariadi juga memberikan keterangan soal pengaturan izin penyadapan yang baru diatur dalam UU KPK hasil revisi. Menurut Agus, ketentuan tentang izin penyadapan ini dibuat demi memberikan asas keadilan hukum.

"Pasal 12B mengatur tentang tata cara pemberian izin penyadapan dan tindakan penyidikan yang secara tegas diatur dengan UU bertujuan untuk memberikan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum," kata Agus.

Baca juga: Mewakili Jokowi, Staf Menkumham: Izin Penyadapan Beri Kepastian Hukum

Menurut dia, pada dasarnya penyadapan merupakan perbuatan yang dilarang dan ilegal secara hukum. Sebab, kegiatan tersebut dapat digunakan untuk kejahatan.

Namun demikian, penyadapan dapat menjadi legal jika tujuannya adalah dalam rangka penegakkan hukum.

Oleh karenanya, untuk melegalkan penyadapan, diperlukan suatu izin. Dalam hal penyadapan dugaan korupsi, izin harus didapat KPK dari Dewan Pengawas KPK.

"Untuk mendapatkan legalnya sesuatu yang dilarang menurut hukum, maka diperlukan suatu izin sehingga yang semula dilarang dapat menjadi tidak dilarang," ujar Agus.

Agus menegaskan, revisi UU KPK yang menambahkan ketentuan mengenai izin penyadapan semata-mata bertujuan untuk melegalkan perbuatan yang dapat disebut sebagai perbuatan melanggar hukum.

"Sehingga dalam revisi pasal a quo bertujuan untik menyempurnakan substansi tentang kewenangan penyadapan untuk diatur sesuai dengan kadiah hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 12B, Pasal 12C, dan Pasal 12D," kata Agus.

3. Batalnya KPK di daerah

Pemerintah berdalih bahwa penghapusan Pasal 19 ayat (2) dalam draf revisi UU KPK bukan bertujuan untuk memperlemah KPK.

UU tersebut kini sudah disahkan dan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasal 19 ayat (2) dalam draf RUU KPK mengatur tentang kedudukan KPK di daerah.

Agus Hariadi justru mengatakan, dihapusnya pasal tersebut guna mengefektifkan anggaran negara.

"Dihapusnya ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang a quo (UU KPK) merupakan upaya untuk mengatur agar pemberantasan korupsi dapat tercapai lebih maksimal dan efektif dengan mempertimbangkan biaya dan keuangan negara," kata Agus.

Agus mengklaim, upaya pengefektifan anggaran negara ini telah sesuai dengan bunyi ketentuan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.

Pada Pasal 5 disebutkan bahwa negara adalah pihak yang wajib meningkatkan dan mengupayakan praktik yang efektif.

Lagipula, lanjut Agus, meskipun Pasal 19 ayat (2) telah dihapus, pokok pasal tersebut telah disinkronkan pada Pasal 11 ayat (1) huruf a dan Pasal 6 huruf e.

Pada Pasal 11 ayat (1) disebutkan, untuk lebih meningkatkan kewenangan KPK terkait penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, kegiatan ini diperluas dengan tidak hanya melibatkan polisi, jaksa dan KPK itu sendiri, namun juga dapat melibatkan organ lain atau bahkan negara tetangga yang ada kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Agus juga mengatakan, secara yuridis, KPK dalam melaksanakan kewenangannnya berlaku secara nasional, tidak hanya meliputi pusat, tapi juga di daerah.

"Dihapusnya Pasal 19 ayat (2) tidak dimaksud untuk melakukan pemberantasan korupsi namun lebih memaksimalkan fungsi-fungsi organ pemerintah yang ada kaitannya yang secara fungsi agar lebih fokus dalam satu bidang," ujar dia.

Selain itu, Agus menambahkan, penghapusan pasal tersebut merupakan kewenangan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka pembentuk Undang-undang.

4. Tak lagi berkepentingan

Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan hadir mewakili DPR dalam sidang pengujian UU KPK. Ia menyebut bahwa Agus Rahardjo dan sejumlah mantan pimpinan KPK lainnya tak punya kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Pasalnya, terhitung sejak Desember 2019, Agus Rahardjo dan kawan-kawan tak lagi menjabat sebagai pimpinan KPK. Meskipun memang, pada saat mengajukan pengujian UU KPK Agus dan lainnya masih punya kedudukan di lembaga antirasuah itu.

"Bahwa sesungguhnya para pemohon perkara 79 (UU KPK) hanya mengkhawatirkan eksistensi lembaga KPK ke depan, sedangkan pada saat ini para pemohon perkara 79 sudah tidak ada lagi kepentingan hukum terhadap lembaga KPK," kata Arteria di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2020).

Baca juga: Menurut Arteria, Agus Rahardjo dkk Dilibatkan dalam Revisi UU KPK

DPR berpandangan, tidak ada lagi pertautan antara Agus Rahardjo dan mantan para petinggi KPK lainnya dengan KPK.

Apalagi, saat ini Agus dan yang lain hanya berprofesi sebagai wiraswasta. Profesi tersebut dinilai tak relevan sebagai pemohon dalam pengujian UU KPK.

"DPR RI berpandangan bahwa dalam menjalankan profesinya sebagai wiraswasta yang merupakan profesi mandiri dan tidak terikat dengan pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan KPK, para pemohon perkara 79 tidak memiliki relevansi dengan keberlakuan UU KPK," ujar Arteria.

Selain itu, menurut DPR, keberadaan mantan Ketua Panitia Seleksi (Pansel) KPK Betti Alisjahbana sebagai salah satu pemohon perkara, juga tak relevan dengan KPK.

Betti dinilai tidak punya kepentingan terkait hal ini, lantaran Pansel hanya bersifat sementara.

Lagi, terhadap para pemohon yang berprofesi sebagai PNS, DPR menilai bahwa seharusnya mereka profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bukan justru menjadi bagian dari pemohon dalam pengujian UU KPK.

"Dalam menjalankan profesinya para pemohon perkara 79 seharusnya berlandaskan pada prinsip-prinsip tersebut di atas dan mendukung program pemerintah dan kebijakan nasional yang salah satunya terwujud dalam pembentukan UU a quo (UU KPK)," kata Arteria.

5. Masuk Prolegnas

Di hadapan Mahkamah, Arteria Dahlan membantah bahwa revisi KPK tak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2015-2019.

Menurut Arteria, pada tahun 2015 dan 2016, UU KPK telah masuk dalam Prolegnas prioritas. Kemudian, pada 2019, undang-undang tersebut menjadi satu dari beberapa undang-undang yang masuk dalam Prolegnas daftar kumulatif terbuka.

"DPR RI menerangkan dan menegaskan bahwa RUU KPK perubahan kedua telah masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2019. RUU tentang perubahan kedua UU KPK juga telah termuat dalam daftar prolegnas yang dapat dilihat publik dalam website DPR," kata Arteria.

Baca juga: DPR Bantah Revisi UU KPK Tak Masuk Prolegnas Prioritas 2019

"Jadi nggak benar kalau dikatakan tidak masuk ke Prolegnas," lanjutnya.

Arteria mengatakan, pada tahun 2017, MK pernah membuat putusan atas pengujian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) yang berdampak pada UU KPK.

Putusan bernomor perkara 36/PUU-XV/2017 itu salah satunya menyoal tentang keabsahan Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK.

Oleh karena putusan tersebut, DPR beranggapan bahwa UU KPK telah memenuhi syarat untuk masuk dalam Prolegnas daftar kumulatif terbuka.

Arteria melanjutkan, berdasarkan putusan itu pula, DPR membentuk Pansus Hak angket KPK yang laporannya disampaikan dalam rapat paripurna DPR RI, Rabu (14/2/2018).

Laporan Pansus Hak Angket ini pada intinya mengungkap bahwa terdapat beberapa temuan permasalahan krusial di dalam institusi KPK. Dari situ, lahirlah sejumlah rekomendasi terkait kelembagaan, kewenangan, tata kelola, SDM dan anggaran KPK.

Namun, hingga saat ini, rekomendasi tersebut tak pernah dijalankan.

"Oleh karena itu, pembentuk UU menilai adanya putusan MK nomor 36/PUU-XV/2017 temuan permasalahan di dalam institusi KPK yang tidak pernah ditindaklanjuti tersebut sebagaimana tertuang dalam laporan Pansus Hak Angket KPK, merupakan suatu urgensi nasional terkait dengan belum optimalnya pemberantasan tindak pidana korupsi dan masih banyaknya penyimpangan-penyimpangan di dalam penegakkan hukum yang dilakukan terhadap institusi KPK," ujar Arteria.

Oleh karena alasan-alasan tersebut, DPR berdalih, revisi UU KPK telah sesuai dengan ketentuan pembentukan perundang-undangan, meski tak masuk sebagai Prolegnas yang diajukan Badan Legislasi DPR.

"Pengajuan RUU a quo (UU KPK) di luar Prolegnas yang diajukan oleh Badan Legislasi DPR yang kemudian disetujui bersama dengan Menkumham adalah sah secara hukum berdasarkan Pasal 23 ayat 2 huruf B UU pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Arteria.

6. Jamin independensi

Arteria Dahlan mengklaim, ditempatkannya KPK sebagai salah satu lembaga rumpun eksekutif tidak akan mengganggu independensi KPK itu sendiri.

Pasalnya, independensi KPK diartikan sebagai kebebasan lembaga antirasuah itu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Arteria menyebut, hal itu hingga kini tetap ada pada tubuh KPK.

"DPR RI menerangkan bahwa penempatan KPK pada rumpun eksekutif tidak akan menimbulkan gangguan terhadap independensi dan kebebasan KPK dari pengaruh manapun bagi KPK. Dan KPK tetap dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegahan dan penindakan tindak pidana korupsi," kata Arteria.

Baca juga: 2 Permohonan Pengujian UU KPK Hasil Revisi Ditolak MK, Ini Rinciannya

Independensi KPK, kata Arteria, masih dapat dibuktikan sejak UU KPK direvisi September 2019 lalu.

Ia mencontohkan, belum sampai satu bulan Pimpinan KPK baru dilantik, Firli Bahuri dan kawan-kawan telah beberapa kali menggelar operasi tangkap tangan (OTT).Selain itu, menurut Arteria, penyebutan KPK sebagai lembaga negara didasari pada putusan MK Nomor 36 terhadap pengujian UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Dalam putusan itu disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen, yaitu lembaga di ranah eksekutif karena melakukan fungsi-fungsi di dalam domain eksekutif yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

"KPK merupakan lembaga negara di dalam ranah eksekutif yang lebih dikenal lembaga negara pembantu presiden di bidang penegakkan hukum khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi," ujar Arteria.

"Dengan demikian penempatan KPK pada rumpun eksekutif didasarkan pada pelaksanaan tugas dan kewenangan pemerintahan yang masuk pada ranah eksekutif," lanjutnya.

7. Pelibatan KPK

Arteria Dahlan membantah tudingan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Cs bahwa mereka tak dilibatkan dalam proses revisi UU KPK.

Arteria mengaku, seluruh proses pembuatan undang-undang pasti melibatkan mitra. Termasuk, pelibatan KPK dalam revisi UU tentang lembaga antirasuah itu.

"Ya tidak mungkin kalau kita tidak melibatkan KPK. Semua undang-uang yang dibuat di DPR itu pasti melibatkan mitra," kata Arteria.

Baca juga: MK Tolak Uji Materi UU KPK, Nilai Pemohon Tak Jelas Uraikan Kerugian Konstitusionalnya

Arteria mengungkap, pada hari ketika revisi UU KPK hendak disahkan pada tahap pertama di Badan Legislasi (Baleg) DPR, ada permintaan dari pimpinan KPK untuk bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Namun, kala itu Menkumham tak bisa memenuhi permintaan pertemuan tersebut karena ia harus hadir pada pembahasan revisi UU KPK tingkat pertama di Baleg.

"Tiba-tiba pimpinan KPK minta dilibatkan, minta dibahas pada saat yang sama jam 7 juga, itu yang membuat ada missed bahwa seolah-olah mereka tidak di(libatkan)," ujar Arteria.

Tidak hanya itu, menurut Arteria, pada pembahasan tingkat akhir, ketika revisi UU KPK hendak disahkan, DPR juga telah memberi ruang bagi pihak-pihak yang masih keberatan terhadap revisi ini untuk menyampaikan keberatannya.

Tetapi, tidak ada keberatan yang disampaikan oleh para Pimpinan KPK terkait hal tersebut.

"Kita sudah kasih ruang dan ternyata ruang itu tidak ada yang hadir, hanya hadir dua, dua yang hadir pun itu yang mendukung adanya revisi UU KPK. Ini faktanya, yang mulia, kita nggak bohong-bohong lah yang ini," tegas Arteria kepada Majelis Hakim MK.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Kata Bahlil Usai Terseret dalam Sidang MK Imbas Dampingi Gibran Kampanye di Papua

Nasional
[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

[POPULER NASIONAL] Gugatan Anies dan Ganjar Tak Mustahil Dikabulkan | Harvey Moeis Tersangka Korupsi

Nasional
Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar

Nasional
Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Soal Perpanjangan Kontrak Shin Tae-yong, Menpora: Prinsipnya Kami Ikuti PSSI

Nasional
Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Soal Potensi Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Belum, Kita Lihat Saja Prosesnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com