Oleh karena putusan tersebut, DPR beranggapan bahwa UU KPK telah memenuhi syarat untuk masuk dalam Prolegnas daftar kumulatif terbuka.
Arteria melanjutkan, berdasarkan putusan itu pula, DPR membentuk Pansus Hak angket KPK yang laporannya disampaikan dalam rapat paripurna DPR RI, Rabu (14/2/2018).
Laporan Pansus Hak Angket ini pada intinya mengungkap bahwa terdapat beberapa temuan permasalahan krusial di dalam institusi KPK. Dari situ, lahirlah sejumlah rekomendasi terkait kelembagaan, kewenangan, tata kelola, SDM dan anggaran KPK.
Namun, hingga saat ini, rekomendasi tersebut tak pernah dijalankan.
"Oleh karena itu, pembentuk UU menilai adanya putusan MK nomor 36/PUU-XV/2017 temuan permasalahan di dalam institusi KPK yang tidak pernah ditindaklanjuti tersebut sebagaimana tertuang dalam laporan Pansus Hak Angket KPK, merupakan suatu urgensi nasional terkait dengan belum optimalnya pemberantasan tindak pidana korupsi dan masih banyaknya penyimpangan-penyimpangan di dalam penegakkan hukum yang dilakukan terhadap institusi KPK," ujar Arteria.
Oleh karena alasan-alasan tersebut, DPR berdalih, revisi UU KPK telah sesuai dengan ketentuan pembentukan perundang-undangan, meski tak masuk sebagai Prolegnas yang diajukan Badan Legislasi DPR.
"Pengajuan RUU a quo (UU KPK) di luar Prolegnas yang diajukan oleh Badan Legislasi DPR yang kemudian disetujui bersama dengan Menkumham adalah sah secara hukum berdasarkan Pasal 23 ayat 2 huruf B UU pembentukan peraturan perundang-undangan," kata Arteria.
6. Jamin independensi
Arteria Dahlan mengklaim, ditempatkannya KPK sebagai salah satu lembaga rumpun eksekutif tidak akan mengganggu independensi KPK itu sendiri.
Pasalnya, independensi KPK diartikan sebagai kebebasan lembaga antirasuah itu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Arteria menyebut, hal itu hingga kini tetap ada pada tubuh KPK.
"DPR RI menerangkan bahwa penempatan KPK pada rumpun eksekutif tidak akan menimbulkan gangguan terhadap independensi dan kebebasan KPK dari pengaruh manapun bagi KPK. Dan KPK tetap dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegahan dan penindakan tindak pidana korupsi," kata Arteria.
Baca juga: 2 Permohonan Pengujian UU KPK Hasil Revisi Ditolak MK, Ini Rinciannya
Independensi KPK, kata Arteria, masih dapat dibuktikan sejak UU KPK direvisi September 2019 lalu.
Ia mencontohkan, belum sampai satu bulan Pimpinan KPK baru dilantik, Firli Bahuri dan kawan-kawan telah beberapa kali menggelar operasi tangkap tangan (OTT).Selain itu, menurut Arteria, penyebutan KPK sebagai lembaga negara didasari pada putusan MK Nomor 36 terhadap pengujian UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Dalam putusan itu disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen, yaitu lembaga di ranah eksekutif karena melakukan fungsi-fungsi di dalam domain eksekutif yaitu penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
"KPK merupakan lembaga negara di dalam ranah eksekutif yang lebih dikenal lembaga negara pembantu presiden di bidang penegakkan hukum khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi," ujar Arteria.
"Dengan demikian penempatan KPK pada rumpun eksekutif didasarkan pada pelaksanaan tugas dan kewenangan pemerintahan yang masuk pada ranah eksekutif," lanjutnya.
7. Pelibatan KPK
Arteria Dahlan membantah tudingan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Cs bahwa mereka tak dilibatkan dalam proses revisi UU KPK.
Arteria mengaku, seluruh proses pembuatan undang-undang pasti melibatkan mitra. Termasuk, pelibatan KPK dalam revisi UU tentang lembaga antirasuah itu.
"Ya tidak mungkin kalau kita tidak melibatkan KPK. Semua undang-uang yang dibuat di DPR itu pasti melibatkan mitra," kata Arteria.
Baca juga: MK Tolak Uji Materi UU KPK, Nilai Pemohon Tak Jelas Uraikan Kerugian Konstitusionalnya
Arteria mengungkap, pada hari ketika revisi UU KPK hendak disahkan pada tahap pertama di Badan Legislasi (Baleg) DPR, ada permintaan dari pimpinan KPK untuk bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Namun, kala itu Menkumham tak bisa memenuhi permintaan pertemuan tersebut karena ia harus hadir pada pembahasan revisi UU KPK tingkat pertama di Baleg.
"Tiba-tiba pimpinan KPK minta dilibatkan, minta dibahas pada saat yang sama jam 7 juga, itu yang membuat ada missed bahwa seolah-olah mereka tidak di(libatkan)," ujar Arteria.
Tidak hanya itu, menurut Arteria, pada pembahasan tingkat akhir, ketika revisi UU KPK hendak disahkan, DPR juga telah memberi ruang bagi pihak-pihak yang masih keberatan terhadap revisi ini untuk menyampaikan keberatannya.
Tetapi, tidak ada keberatan yang disampaikan oleh para Pimpinan KPK terkait hal tersebut.
"Kita sudah kasih ruang dan ternyata ruang itu tidak ada yang hadir, hanya hadir dua, dua yang hadir pun itu yang mendukung adanya revisi UU KPK. Ini faktanya, yang mulia, kita nggak bohong-bohong lah yang ini," tegas Arteria kepada Majelis Hakim MK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.