UU tersebut kini sudah disahkan dan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasal 19 ayat (2) dalam draf RUU KPK mengatur tentang kedudukan KPK di daerah.
Agus Hariadi justru mengatakan, dihapusnya pasal tersebut guna mengefektifkan anggaran negara.
"Dihapusnya ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-undang a quo (UU KPK) merupakan upaya untuk mengatur agar pemberantasan korupsi dapat tercapai lebih maksimal dan efektif dengan mempertimbangkan biaya dan keuangan negara," kata Agus.
Agus mengklaim, upaya pengefektifan anggaran negara ini telah sesuai dengan bunyi ketentuan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
Pada Pasal 5 disebutkan bahwa negara adalah pihak yang wajib meningkatkan dan mengupayakan praktik yang efektif.
Lagipula, lanjut Agus, meskipun Pasal 19 ayat (2) telah dihapus, pokok pasal tersebut telah disinkronkan pada Pasal 11 ayat (1) huruf a dan Pasal 6 huruf e.
Pada Pasal 11 ayat (1) disebutkan, untuk lebih meningkatkan kewenangan KPK terkait penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, kegiatan ini diperluas dengan tidak hanya melibatkan polisi, jaksa dan KPK itu sendiri, namun juga dapat melibatkan organ lain atau bahkan negara tetangga yang ada kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Agus juga mengatakan, secara yuridis, KPK dalam melaksanakan kewenangannnya berlaku secara nasional, tidak hanya meliputi pusat, tapi juga di daerah.
"Dihapusnya Pasal 19 ayat (2) tidak dimaksud untuk melakukan pemberantasan korupsi namun lebih memaksimalkan fungsi-fungsi organ pemerintah yang ada kaitannya yang secara fungsi agar lebih fokus dalam satu bidang," ujar dia.
Selain itu, Agus menambahkan, penghapusan pasal tersebut merupakan kewenangan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka pembentuk Undang-undang.
4. Tak lagi berkepentingan
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan hadir mewakili DPR dalam sidang pengujian UU KPK. Ia menyebut bahwa Agus Rahardjo dan sejumlah mantan pimpinan KPK lainnya tak punya kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Pasalnya, terhitung sejak Desember 2019, Agus Rahardjo dan kawan-kawan tak lagi menjabat sebagai pimpinan KPK. Meskipun memang, pada saat mengajukan pengujian UU KPK Agus dan lainnya masih punya kedudukan di lembaga antirasuah itu.
"Bahwa sesungguhnya para pemohon perkara 79 (UU KPK) hanya mengkhawatirkan eksistensi lembaga KPK ke depan, sedangkan pada saat ini para pemohon perkara 79 sudah tidak ada lagi kepentingan hukum terhadap lembaga KPK," kata Arteria di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2020).
Baca juga: Menurut Arteria, Agus Rahardjo dkk Dilibatkan dalam Revisi UU KPK
DPR berpandangan, tidak ada lagi pertautan antara Agus Rahardjo dan mantan para petinggi KPK lainnya dengan KPK.
Apalagi, saat ini Agus dan yang lain hanya berprofesi sebagai wiraswasta. Profesi tersebut dinilai tak relevan sebagai pemohon dalam pengujian UU KPK.
"DPR RI berpandangan bahwa dalam menjalankan profesinya sebagai wiraswasta yang merupakan profesi mandiri dan tidak terikat dengan pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan KPK, para pemohon perkara 79 tidak memiliki relevansi dengan keberlakuan UU KPK," ujar Arteria.
Selain itu, menurut DPR, keberadaan mantan Ketua Panitia Seleksi (Pansel) KPK Betti Alisjahbana sebagai salah satu pemohon perkara, juga tak relevan dengan KPK.
Betti dinilai tidak punya kepentingan terkait hal ini, lantaran Pansel hanya bersifat sementara.
Lagi, terhadap para pemohon yang berprofesi sebagai PNS, DPR menilai bahwa seharusnya mereka profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bukan justru menjadi bagian dari pemohon dalam pengujian UU KPK.
"Dalam menjalankan profesinya para pemohon perkara 79 seharusnya berlandaskan pada prinsip-prinsip tersebut di atas dan mendukung program pemerintah dan kebijakan nasional yang salah satunya terwujud dalam pembentukan UU a quo (UU KPK)," kata Arteria.
5. Masuk Prolegnas
Di hadapan Mahkamah, Arteria Dahlan membantah bahwa revisi KPK tak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2015-2019.
Menurut Arteria, pada tahun 2015 dan 2016, UU KPK telah masuk dalam Prolegnas prioritas. Kemudian, pada 2019, undang-undang tersebut menjadi satu dari beberapa undang-undang yang masuk dalam Prolegnas daftar kumulatif terbuka.
"DPR RI menerangkan dan menegaskan bahwa RUU KPK perubahan kedua telah masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2019. RUU tentang perubahan kedua UU KPK juga telah termuat dalam daftar prolegnas yang dapat dilihat publik dalam website DPR," kata Arteria.
Baca juga: DPR Bantah Revisi UU KPK Tak Masuk Prolegnas Prioritas 2019
"Jadi nggak benar kalau dikatakan tidak masuk ke Prolegnas," lanjutnya.
Arteria mengatakan, pada tahun 2017, MK pernah membuat putusan atas pengujian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) yang berdampak pada UU KPK.
Putusan bernomor perkara 36/PUU-XV/2017 itu salah satunya menyoal tentang keabsahan Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK.