JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (KPK), Senin (3/2/2020).
Agenda persidangan adalah mendengarkan keterangan Presiden atau pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang.
Hadir mewakili pemerintah, Staf Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Agus Hariadi. Sedangkan Anggota Komisi III Arteria Dahlan mewakili DPR.
Baca juga: Kata Arteria, Agus dkk Tak Berkepentingan Lagi Gugat UU KPK
Persidangan ini menggabungkan empat gugatan yang dilayangkan oleh empat pemohon yang berbeda, salah satunya gugatan yang dimohonkan oleh Pimpinan KPK periode 2015-2019 Agus Rahardjo.
Keempat gugatan ini diperiksa dalam satu persidangan lantaran sama-sama menggugat UU KPK.
Selama persidangan, perwakilan pemerintah dan DPR memberikan keterangan mereka atas proses dan tujuan dari revisi UU KPK. Dalih demi dalih serta alasan demi alasan disampaikan Agus Hariadi dan Arteria Dahlan di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: DPR Bantah Revisi UU KPK Tak Masuk Prolegnas Prioritas 2019
1. Dewan Pengawas dan tudingan pelemahan
Pemerintah membantah bahwa pembentukan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertujuan untuk melemahkan tubuh KPK.
Hal ini disampaikan Staf Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Agus Hariadi, saat menyampaikan keterangan dalam sidang lanjutan pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi.
"Bahwa para pemohon mendalilkan pembentukan dewan pengawas bertujuan untuk melemahkan pemberantasan korupsi, merupakan dalil yang tidak memiliki landasan secara yuridis dan konstitusional," kata Agus.
Baca juga: Staf Menkumham: Dewas KPK Tak Bertentangan dengan Hukum Antikorupsi
Agus mengatakan, pembentukan Dewan Pengawas KPK selain berdasar pada ketentuan UUD 1945, juga merujuk pada ketentuan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
Pada Pasal 6 Konvensi UNCAC 2003 dijelaskan bahwa negara dapat membentuk badan yang dapat dimaknai sebagai kelembagaan dalam organ pemberantasan korupsi sesuai yang diperlukan.
Penambahan Dewan Pengawas pada organ pemberantasan korupsi secara yuridis dinilai tidak bertentangan dengan kaidah hukum antikorupsi. Sebaliknya, hal itu merupakan bagian dari kewajiban negara mengevaluasi dan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi.
Tidak hanya itu, lanjut Agus, pembentukan Dewan Pengawas juga bertujuan untuk menciptakan pola check and balances di tubuh KPK.
Sebab, tanpa adanya badan ini, kekuasaan KPK berpotensi menjadi absolut.
"Dalam rangka untuk menghilangkan kekuasaan yang bersifat absolut yang menekankan kekuasaan yang bersifat pararel yaitu sistem yang saling berhubungan dan bekerja sama dan saling sinergi dalam mencapai tujuan negara," ujar Agus.
Agus menambahkan, kedudukan Dewan Pengawas terhadap KPK tidaklah bersifat hierarkis. Melainkan, Dewan Pengawas secara searah bersama-sama dengan KPK melakukan tindakan pemberantasan korupsi.
Oleh karenanya, ia menegaskan pembentukan bahwa Dewan Pengawas tidak bertentangan dengan prinsip hukum pemberantasan korupsi.
2. Keadilan pada izin penyadapan
Di hadapan Mahkamah, Agus Hariadi juga memberikan keterangan soal pengaturan izin penyadapan yang baru diatur dalam UU KPK hasil revisi. Menurut Agus, ketentuan tentang izin penyadapan ini dibuat demi memberikan asas keadilan hukum.
"Pasal 12B mengatur tentang tata cara pemberian izin penyadapan dan tindakan penyidikan yang secara tegas diatur dengan UU bertujuan untuk memberikan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum," kata Agus.
Baca juga: Mewakili Jokowi, Staf Menkumham: Izin Penyadapan Beri Kepastian Hukum
Menurut dia, pada dasarnya penyadapan merupakan perbuatan yang dilarang dan ilegal secara hukum. Sebab, kegiatan tersebut dapat digunakan untuk kejahatan.
Namun demikian, penyadapan dapat menjadi legal jika tujuannya adalah dalam rangka penegakkan hukum.
Oleh karenanya, untuk melegalkan penyadapan, diperlukan suatu izin. Dalam hal penyadapan dugaan korupsi, izin harus didapat KPK dari Dewan Pengawas KPK.
"Untuk mendapatkan legalnya sesuatu yang dilarang menurut hukum, maka diperlukan suatu izin sehingga yang semula dilarang dapat menjadi tidak dilarang," ujar Agus.
Agus menegaskan, revisi UU KPK yang menambahkan ketentuan mengenai izin penyadapan semata-mata bertujuan untuk melegalkan perbuatan yang dapat disebut sebagai perbuatan melanggar hukum.
"Sehingga dalam revisi pasal a quo bertujuan untik menyempurnakan substansi tentang kewenangan penyadapan untuk diatur sesuai dengan kadiah hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 12B, Pasal 12C, dan Pasal 12D," kata Agus.
3. Batalnya KPK di daerah
Pemerintah berdalih bahwa penghapusan Pasal 19 ayat (2) dalam draf revisi UU KPK bukan bertujuan untuk memperlemah KPK.