JAKARTA, KOMPAS.com - Mejalis Hakim Mahkamah Konstitusi meminta pemohon uji materi Pasal 176 Udang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada memperbaiki berkas permohonannya.
Sebab, pada berkas permohonan yang diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara bernama Michael itu, Majelis Hakim MK menemukan banyak kesalahan, salah satunya mengenai format permohonan pengujian undang-undang.
"Saran kami nanti saudara Michael lihat lagi format permohonan yang benar," kata Hakim MK Saldi Isra dalam persidangan pendahuluan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2020).
"Anda sedang mengambil mata kuliah hukum Mahkamah Monstitusi enggak? Ini tugas kuliah Anda bukan? Nanti kalau tugas kuliah Anda bawa ke sini kita repot-repot memikirkannya ternyata Anda hanya memenuhi syarat kuliah saja," ucap Saldi.
Baca juga: Berangkat dari Kosongnya Kursi Wagub DKI, UU Pilkada Digugat ke MK
Selain menyarankan pemohon untuk melihat contoh format permohonan pengujian undang-undang yang benar, Saldi meminta pemohon mempelajari peraturan MK tentang hukum beracara.
Sebab, Mahkamah menilai, dalam berkas permohonan pemohon, identitas pemohon bahkan kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak dituliskan secara benar.
Pemohon dalam berkasnya menuliskan bahwa kewenangan MK untuk mengadili perkara di tingkat pertama dan terakhir dimuat dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.
Padahal, pasal tersebut bukan mengatur tentang kewenangan MK.
"Enggak ada Pasal 34 bunyinya begitu, pasal itu kalau saya tidak keliru, itu soal saya baca ya, isinya 'fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh negara'," kata Saldi.
Ia pun meminta pemohon untuk lebih berhati-hati.
Sementara itu, Hakim MK Arief Hidayat meminta pemohon untuk memperbaiki berkas permohonannya pada bagian alasan pokok permohonan.
Dalam hal ini, pemohon menilai ketentuan mengenai mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah melalui DPD tidak demokratis.
Oleh karenanya, menurut Arief, pemohon harus mampu menguraikan alasannya.
"Anda mengatakan yang dipilih langsung oleh DPRD tidak demokratis itu harus Anda uraikan. Anda juga mengatakan itu betentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 tolong nanti itu diuraikan," ujar Arief.
Pemohon lantas diberi waktu selama 14 hari oleh Mahkamah untuk memperbaiki berkas permohonannya.
Berkas perbaikian permohonan itu harus dikirimkan kemnali ke Mahkamah selambat-lambatnya 17 Februari 2020.
Diberitakan sebelumnya, ketentuan tentang mekanisme pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang dimuat dalam Undang-undang Pilkada diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: 2 Permohonan Pengujian UU KPK Hasil Revisi Ditolak MK, Ini Rinciannya
Pemohon dalam perkara ini adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara bernama Michael.
Ia menggugat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, khususnya Pasal 176, karena dinilai tidak menciptakan pemilihan umum yang demokratis.
"Pertama bahwa Pasal 176 sendiri tidak menciptakan pemilihan umum yang demokratis," kata penggugat dalam sidang pendahuluan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2020).
Dalam Pasal 176 Ayat (1) UU Pilkada disebutkan bahwa jika wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota berdasarkan usulan dari partai politik atau gabungan partai politik pengusung.
Menurut Michael, bunyi ketentuan tersebut, berikut empat ayat setelahnya, melanggar syarat penetapan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah jalur perseorangan yaitu mengantongi dukungan 50 persen suara+1.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.