Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai fenomena semacam ini jika dicermati secara politik dapat dinilai sebagai fenomena dinasti politik generasi keempat di Indonesia.
"Saya sebut generasi keempat karena politik dinasti terjadi pada keluarga Soekarno, Soeharto, SBY dan kini Jokowi-Ma'ruf Amin," ujarnya kepada Kompas.com, Sabtu (2/11/2019).
"Jika betul Gibran, Bobby dan Siti Nur Azizah mencalonkan menjadi wali kota itu artinya Jokowi dan Ma'ruf Amin turut berkontribusi melanggengkan budaya politik dinasti di Indonesia," kata dia.
Baca juga: Menyelisik Politik Dinasti Generasi Keempat...
Ubedilah menambahkan, politik dinasti sebenarnya adalah sesuatu yang ditolak oleh kelompok substantif pro-demokrasi di Indonesia.
Sebab dukungan kelompok substantif pro-demokrasi di Indonesia pada Jokowi-Ma'ruf atau sebelumnya Jokowi-JK adalah karena Jokowi bukanlah siapa-siapa.
Jokowi bukan lahir dari dinasti politik Soekarno, Soeharto, atau SBY dan karenanya diharapkan tidak membangun dinasti politik baru.
"Bagaimanapun, dinasti politik turut berkontribusi merusak kualitas demokrasi," ucap dia.
Baca juga: Anak dan Menantu Jokowi Maju Pilkada, Istana: Jangan Anggap Dinasti Politik
Lebih lanjut, dinasti politik imbuhnya seringkali merusak rasionalitas pemilih.
Cara berpikir pemilih lebih mempertimbangkan faktor pengaruh keluarga besar sehingga seringkali mengabaikan sisi kualitas sekaligus menutup peluang kompetitor rakyat biasa memenangi kontestasi pilkada.
"Lebih dari itu kesan memanfaatkan kekuasaan sang Ayah yang masih berkuasa akan lebih dominan terlihat. Atau dalam bahasa lain disebut politik aji mumpung yang bisa jadi bukan kehendak Gibran, Bobby atau Siti," ucap Ubedilah.
"Hal ini bisa jadi didorong oleh keinginan pemilik modal atau para pemburu rente yang berjejaring dengan mereka yang mengklaim diri para konsultan politik lokal," tuturnya.
Baca juga: Pengamat: Dinasti Politik Menghambat Kesejahteraan