JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma menilai Komnas HAM tidak bekerja maksimal dalam membuat laporan mengenai penyampaian aspirasi mahasiswa dan pelajar terhadap RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 24-30 September 2019.
"Itu kan (peristiwa) terjadi September, laporan ini dikeluarkan Januari. Artinya ada rentang waktu tiga bulan, baru satu laporan dikeluarkan. Ini mencerminkan bahwa Komnas HAM tidak bekerja secara maksimal karena ini menyangkut dengan indikasi adanya pelanggaran HAM," ujar Feri di kantor Kontras, Jakarta, Jumat (31/1/2020).
Baca juga: Tim Advokasi untuk Demokrasi Pertanyakan Kata Preman dalam Temuan Komnas HAM
Feri mengatakan, seharusnya Komnas HAM mengeluarkan laporan dua minggu pasca-peristiwa tersebut terjadi.
Hal itu dilakukan supaya dokumen Komnas HAM dapat digunakan untuk proses lebih lanjut. Baik berupa perbaikan di institusi negara, pemenuhan hak para korban, maupun proses hukum terhadap para pelaku kekerasan.
"Seharusnya laporan komnas ham itu menjadi rujukan, apakah satu peristiwa terdapat pelanggaran HAM atau tidak," kata dia.
Baca juga: Temuan Komnas HAM soal Aksi Mahasiswa Tuntut Perppu KPK Tuai Kritik
Feri memandang, laporan yang dikeluarkan pada 9 Januari 2020 tersebut minim fakta dan lebih banyak menyeret teori tentang HAM.
Laporan itu hanya berisi fakta adanya aksi demonstrasi. Sedangkan, fakta adanya dugaan pelanggaran HAM luput dalam laporan.
"Seharusnya yang disampaikan oleh Komas HAM sebagai penyelenggara negara ada tidak terjadinya pelanggaran HAM. Karena kunci pemantauan di Komnas HAM yang dimandatkan UU Nomor 39 tahun 1999 adalah mencari indikasi dugaan pelanggaran HAM dalam 1,489 orang yang ditangkap itu," jelas Feri.
Tak komprehensifnya laporan Komnas HAM, lanjut Feri, terlihat dari tak diuraikannya kekerasan yang dialami peserta aksi.
Laporan tersebut juga berbeda dengan fakta yang ditemukan Kontras di lapangan.
"Kita sudah meratifikasi konvensi antipenyiksaan, seharusnya itu menjadi rujukan. Ada lima orang yang meninggal, lalu bagaimana memperoleh hak atas keadilan. Itu harusnya dijelaskan oleh Komnas HAM," tegas Feri.
Baca juga: 100 Hari Jokowi-Maruf, 9 Catatan YLBHI soal Buruknya Penegakan Hukum dan HAM
Dalam laporan Komnas HAM, terdapat 1.489 orang di Jakarta ditangkap.
Total orang yang ditangkap terdiri dari 94 orang swasta, 328 orang umum, 648 pelajar, 254 mahasiswa, dan 165 orang tidak bekerja atau preman per 15 Oktober 2019.
Kemudian 1.109 orang dibebaskan karena terbukti tidak bersalah, 92 orang diversi, 218 orang ditangguhkan, 70 orang ditahan, dan 380 orang berstatus tersangka.
Selanjutnya, dari 380 tersangka tercatat memiliki peran diduga membawa senjata tajam sebanyak 2 orang. Kemudian perusak pos polantas dan pembawa bom molotov 2 orang.
Lalu melempar batu ke petugas 91 orang, mendokumentasikan dan menyebarkan peristiwa 17 orang, peserta aksi 133 orang, dan tidak mengindahkan perintah petugas 133 orang.
Adapun terdapat lima upaya yang dilakukan Komnas HAM dalam kasus tersebut. Antara lain audiensi dan pengaduan, pembentukan tim pasca aksi, pemantauan lapangan, pemanggilan dan klarifikasi, serta media monitoring.