BW mengkritik kebijakan Pemerintah belakangan ini yang dinilainya melemahkan KPK dengan menghilangkan otonomi dan kekuasaan KPK sebagai salah satu ujung tombak pemberantasan korupsi.
Padahal, di lain sisi, Pemerintah tengah berupaya menarik investor dari luar negeri yang justru membutuhkan kepastian hukum, salah satunya di sektor pemberantasan korupsi.
"Hal ini membuat upaya menarik investasi dari luar negeri hanya ilusi berupa khayalan fatamorgana dan upaya pemberantasan korupsi menjadi dagelan yang blas enggak lucu banget," kata BW.
Kecenderungan lainnya dalam proses pemberantasan korupsi, sejumlah pelaku korupsi ada yang dihukum ringan. Khususnya di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
Jelang akhir tahun 2019, MA tercatat memutus sejumlah perkara kasasi dan PK yang dimohonkan oleh pelaku korupsi. Misalnya, terpidana kasus korupsi eks Ketua DPD Irman Gusman dan mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
MA mengurangi hukuman Irman Gusman menjadi 3 tahun penjara pada tingkat PK. Hukuman ini lebih rendah dari putusan majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, yaitu 4 tahun dan 6 bulan penjara. Irman saat itu merupakan terpidana kasus suap terkait kuota gula impor.
MA juga mengurangi hukuman Patrialis Akbar menjadi 7 tahun penjara pada tingkat PK. Hukuman ini lebih rendah dari putusan sebelumnya, yaitu 8 tahun penjara. Patrialis merupakan terpidana kasus suap terkait impor daging.
Selain itu, MA tercatat mengurangi vonis mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham di tingkat kasasi menjadi 2 tahun penjara.
Sebelumnya di tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Idrus Marham menjadi 5 tahun penjara.
Selain itu, terdapat pula putusan lepas terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung selaku terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Baca juga: Vonis 2 Tahun Dianggap Tak Adil, Romahurmuziy Ajukan Banding
Padahal sebelumnya di tingkat banding, ia divonis 15 tahun penjara. Vonis itu memperberat putusan di tingkat pertama, 13 tahun penjara.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyayangkan sejumlah terpidana kasus korupsi mengalami pengurangan hukuman.
ICW kecewa lantaran putusan tersebut membangun kesan negara cenderung memberi hukuman ringan bagi koruptor.
Hal itu disampaikan Kurnia dalam paparan Catatan Agenda Pemberantasan Korupsi Tahun 2019 di kantor ICW, Jakarta, Minggu (29/12/2019).
Ia melihat fenomena ini justru tidak akan mendorong efek jera yang maksimal bagi pelaku korupsi
Selain di tingkat kasasi dan PK, di tingkat pertama, salah satu putusan yang menjadi perhatian belakangan ini adalah putusan 2 tahun penjara terhadap mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy.
Vonis terhadap terdakwa kasus dugaan suap terkait seleksi jabatan di Kementerian Agama itu lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.
Peneliti ICW Donal Fariz menilai vonis tersebut terlalu ringan.
"Vonisnya sangat rendah, hanya setengah dari tuntutan Jaksa," kata Donal saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/1/2020).
Donal menyatakan, seharusnya majelis hakim bisa memberikan vonis lebih berat. Alasannya, karena Romy adalah ketua umum partai politik dan juga anggota DPR periode 2014-2019.
Menurut dia, semestinya pula hukuman dibarengi dengan pencabutan hak politik.
Baca juga: Vonis Ringan Romahurmuziy, Pakar Hukum Soroti Pelemahan Pemberantasan Korupsi
Pencabutan hak politik terhadap politisi yang menjadi pelaku kasus korupsi perlu dilakukan untuk memberikan efek jera. Apalagi, kata Donal, politisi itu menggunakan pengaruh politik dan kekuasaan yang dimiliki untuk keuntungan pribadi.
Di sisi lain, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, pada dasarnya para koruptor patut mendapatkan hukuman maksimal.
"Hukuman pidana pada koruptor seharusnya hukuman maksimal. Bahkan, jika mungkin pembuktiannya, harus ada perampasan harta yang semaksimal mungkin dari koruptor," kata Fickar.
Apa kabar Stranas PK?
Dalam pemberantasan korupsi, terobosan pemerintahan Jokowi adalah Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Stranas PK ini didasari pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018.
Perpres itu fokus pada pencegahan korupsi di sektor prioritas pemerintah, yaitu perizinan dan tata niaga; keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
Selain itu aturan tersebut juga menekankan sinergi dan kolaborasi antara upaya pencegahan yang dilaksanakan oleh KPK dengan upaya yang ada di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, yang selama ini dilaksanakan secara terpisah.