Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aktivis Ungkap 12 Alasan Mengapa Menolak RUU Omnibus Law

Kompas.com - 30/01/2020, 14:56 WIB
Sania Mashabi,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis yang menamakan diri Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus law yang tengah disusun oleh pemerintah dan DPR.

Perwakilan FRI Citra Referandum mengungkapkan, setidaknya ada 12 alasan yang menyebabkan pihaknya menolak RUU tersebut.

"Pertama, RUU Omnibus Law dinilai melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang dinilai lebih ramah lingkungan," ujar Citra di Kantor LBH Jakarta, Kamis (30/1/2020).

Baca juga: Baleg Minta RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Tak Hanya untuk Atasi Pengangguran

Kedua, penyusunan RUU dinilai cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi masyarakat sipil dan mendaur ulang pasal inkonstitusional.

Ketiga, Satgas Omnibus Law yang menyusun naskah akademiknya bersifat elitis dan tidak mengakomodasi masyarakat yang terdampak keberadaan RUU Omnibus Law.

"Omnibus Law digawangi oleh 138 orang yang komposisinya mayoritas diisi oleh pihak pemerintah dan pengusaha," kata Citra.

Keempat, terdapat sentralisme kewenangan apabila RUU Omnibus Law disahkan. Kebijakan menjadi ditarik ke pemerintah pusat dan hal itu dinilai mencederai semangat reformasi.

Kelima, celah korupsi dapat melebar akibat mekanisme pengawasan yang dipersempit dan penghilangan hak gugat oleh rakyat.

Keenam, perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat.

Baca juga: Jokowi Teken Surpres Omnibus Law Perpajakan

Ketujuh, percepatan krisis lingkungan hidup akibat investasi yang meningkatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis dan kerusakan lingkungan.

"Berikut beberapa ketentuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang akan diubah RUU (Omnibus Law) Cilaka (Cipta Lapangan Kerja), berkurangnya instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dihapuskannya izin lingkungan, dihapuskannya sanksi pidana untuk pelanggaran administrasi, dan dibatasinya pelibatan masyarakat," papar dia.

Kedelapan, menerapkan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisasi upah di bawah standar minimum, upah per jam dan perluasan kerja kontrak outsourcing.

Kesembilan, potensi PHK massal dan memburuknya kondisi kerja.

Kesepulu, membuat orientasi sistem pendidikan untuk menciptakan tenaga kerja murah.

Baca juga: Fraksi Rakyat Indonesia Nilai Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Berwatak Kolonial

Kesebelas, RUU Omnibus Law diyakini dapat memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak, difabel, dan kelompok minoritas keyakinan, gender dan seksual.

Terakhir, bakal terjadi kriminalisasi, represi dan kekerasan negara terhadap rakyat, sementara negara memberikan kekebalan dan keistimewaan hukum kepada para pengusaha.

"Aturan dalam Omnibus Law secara eksklusif memang dibuat untuk lebih mengutamakan posisi investor atau korporasi ketimbang perlindungan terhadap hak demokrasi dan konstitusional rakyatnya," ujar Citra.

"Amanah konstitusi untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat dikesampingkan begitu saja dengan dalih mendatangkan investasi," lanjut dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com