"Termasuk tadi soal evaluasi (kompetensi) yang formatif (di tengah) dan sumatif (di akhir dalam mekanisme pengganti UN) yang sangat teoritis sekali. Enggak ada evaluasi yang formatif saja, juga enggak ada yang sumatif saja. Jadi harus punya fungsi dua ya," ujarnya.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga menyambut sepakat dengan sistem kompetensi tersebut.
Baca juga: UN Dihapus, Anggota Komisi X: Jangan Ganti Menteri, Ganti Kebijakan
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) FSGI Satriwan Salim melalui keterangan tertulisnya mengatakan, evaluasi terhadap pembelajaran yang dilakukan siswa memang harus tetap ada.
"FSGI menyambut positif rencana Mas Nadiem menghapus UN. Tetapi evaluasi terhadap pembelajaran harus tetap ada," ujar Satirwan, Rabu (11/12/2019).
Sementara itu, mantan Wakil Presiden HM Jusuf Kalla tak sepakat UN diganti dengan sistem penilaian kompetensi.
Menurut Kalla, UN masih baik dilakukan sebagai tolak ukur kualitas pendidikan di Indonesia.
"UN masih relevan diterapkan," kata Jusuf Kalla usai menerima penganugerahan doktor honoris causa di bidang penjaminan mutu pendidikan dari Universitas Negeri Padang, Kamis (5/12/2019).
Baca juga: Ditanya soal Penghapusan UN, Jusuf Kalla: Jangan Jadi Generasi Muda yang Lembek
Jusuf Kalla merasa khawatir, jika UN tak diberlakukan, pendidikan Indonesia akan kembali pada tahun 2003.
Ketika itu, kata dia, Indonesia tak memiliki standar mutu pendidikan sehingga semua peserta didik dapat diluluskan.
Kalla mengatakan, sistem Ebtanas menerapkan cara nilai ganda dan menaikkan nilai bagi yang kurang di daerah.
"Kalau di Jakarta anak dapat nilai 6, mungkin di Mentawai atau Kendari, atau di kampung saya di Bone dapat 4. Lalu dibikinlah semacam teori dan justifikasi untuk mengatrol nilai 4 itu menjadi 6," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.