JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menuturkan bahwa saat ini seluruh pemangku kepentingan perlu memperbaiki sistem pemerintahan dan budaya politik untuk mengatasi penurunan indeks demokrasi Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
"Jadi ke depan, perbaikannya adalah dalam sistem pemerintahan dan budaya politik indonesia. Dan itu tanggung jawab bersama," ujar Bagja kepada Kompas.com, Jumat (24/1/2020).
Baca juga: Indeks Demokrasi RI Peringkat Ke-64 Dunia, Pilpres Tak Langsung Jadi Ancaman
Perbaikan sistem, kata Bagja, harus menyasar aturan hukum, penegak hukum dan budaya hukum.
Ketiga hal itu, menurut Bagja, bisa dilakukan oleh pemerintah, DPR, partai politik, KPU, Bawaslu dan DKPP.
Sementara itu, peran Bawaslu dalam hal ini akan menguatkan aparatur dan budaya hukum penyelenggara pemilu.
Bagja menambahkan, adanya penyelenggara pemilu yang terlibat kasus jelas menjadi pembelajaran bagi semua pemangku kepentingan yang ada.
"Akan tetapi hal tersebut bukan kemudian membuat kita menyerah untuk memperbaiki sistem," tambahnya.
Baca juga: Indeks Demokrasi Indonesia yang Kalah dari Timor Leste dan Malaysia...
Sebelumnya diberitakan, Indeks demokrasi Indonesia pada 2019 cenderung mengalami stagnasi dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2019, Indonesia kembali menduduki peringkat ke-64 secara global dari 167 negara yang diriset oleh perusahaan riset bisnis dan ekonomi yang berbasis di Inggris, The Economist Intelligence Unit (EIU).
Dalam tiga tahun terakhir, skor indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan.
Pada 2016, Indonesia pernah menempati peringkat ke-48 dengan skor 6,97. Sedangkan pada 2017 Indonesia menempati peringkat ke 68 dengan skor 6,39.
Dalam penjelasannya, EIU menyatakan, negara dengan kategori "flawed democracies" tetap menerapkan sistem pemilihan yang bebas dan adil.
Bahkan, bila terjadi masalah seperti pelanggaran terhadap kebebasan media maupun kebebasan lainnya, hak-hak sipil tetap dihormati.
"Namun, ada kelemahan yang signifikan dalam aspek demokrasi lainnya, termasuk masalah dalam pemerintahan, budaya politik yang kurang berkembang dan rendahnya tingkat partisipasi politik,” tulis laporan EIU seperti dilansir Kompas.com, Kamis (23/1/2020).
Sementara itu, stagnasi posisi Indonesia diduga tidak terlepas dari adanya upaya untuk mengganti sistem pemilihan langsung menjadi tidak langsung.
Wacana itu mencuat pada akhir 2019 lalu dan sempat menjadi pembicaraan di publik.
Meski pada akhirnya Presiden Joko Widodo menentang wacana tersebut, bukan berarti di masa depan upaya untuk mengubah sistem pemilu tidak akan terjadi di masa depan.
"Di masa yang akan datang pengaruh Jokowi akan semakin berkurang, bukan tidak mungkin wacana perubahan ini akan didorong untuk dibahas di tingkat Parlemen di kemudian hari," tulis ulasan tersebut.