JAKARTA, KOMPAS.com - Suasana di sekitar kampus Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta sore itu mencekam. Penutupan sidang istimewa MPR, 13 November 1998, diwarnai gelombang demonstrasi massa pendukung reformasi.
Ketika aksi massa membesar, aparat bersenjata mulai melakukan tindakan represif. Desing peluru mulai terdengar di udara.
Korban pun berjatuhan.
Baca juga: Jumat Kelam Tragedi Semanggi 1998, Perjalanan Mencekam Bertemu Wawan...
Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, mahasiswa Atma Jaya sekaligus aktivis Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) tak bisa tinggal diam. Saat itu ia tengah berada di lingkungan kampus.
Ketika melihat seorang korban tergeletak di halaman kampus, Wawan berlari menghampiri.
Ia dekati mahasiswa itu dan hendak mengangkatnya untuk dibawa ke tempat aman.
Namun, saat Wawan mengangkat korban, ia ditembak dengan peluru tajam. Tepat mengenai dada sebelah kiri hingga menembus jantung dan paru-paru.
Kesaksian Sumarsih
Sore itu, Maria Katarina Sumarsih mendapatkan sebuah panggilan telepon dari seseorang bernama Ivon yang menanyakan keberadaan anak lelakinya, Wawan.
Panggilan telepon itu kemudian diikuti panggilan telepon lain dari Romo Sandyawan. Dari Romo Sandy, Sumarsih dan sang suami, Arief Priyadi, diminta untuk segera ke Rumah Sakit Jakarta.
Jalanan Jakarta kian mencekam. Situasi tak menentu. Sumarsih menangis selama perjalanan.
Ketika sampai di RS Jakarta, Sumarsih dan Arief diarahkan menuju basement rumah sakit yang penuh orang terutama mahasiswa dan mahasiswi.
"Beberapa orang memeluk saya, menasihati agar saya tabah," tulis Sumarsih dalam catatan 'Perjuangan Menuntut Kebenaran dan Keadilan', seperti dikutip dari buku Melawan Pengingkaran (2006), Jumat (24/1/2020).
Baca juga: Dugaan Kekerasan yang Sistematis dalam Kasus Tragedi Semanggi I dan II
Sebuah pintu ruangan di basement kemudian dibuka. Sumarsih bertemu Wawan.
Ia melihat Wawan ada di keranda terbuka dengan kedua tangan dilipat dan dua jempol kaki kanan dan kiri diikat kain putih. Wawan memakai celana pendek dan kaus putih.