JAKARTA, KOMPAS.com – Dua pekan sejak peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, eks calon anggota legislatif PDI Perjuangan, Harun Masiku, masih buron.
Harun merupakan tersangka penyuap Wahyu agar dapat duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menggantikan posisi Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
OTT terhadap Wahyu terjadi pada 8 Januari 2020. Sejak saat itu, keberadaan Harun masih tanda tanya.
Sebab, tak biasanya KPK melakukan OTT terkait kasus suap tanpa menangkap pemberi dan penerima suap secara bersamaan.
Baca juga: Simpang Siur Keberadaan Harun Masiku: Pengakuan Imigrasi, Respons KPK, dan Bungkamnya Yasonna
Baik Kementerian Hukum dan HAM maupun KPK sama-sama sempat menyebut Harun telah meninggalkan Indonesia dua hari sebelum penangkapan atau pada 6 Januari 2020.
Hal itu pertama kali dinyatakan oleh Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham Arvin Gumilang.
“Iya, tercatat dalam data perlintasan keluar Indonesia tanggal 6 Januari,” kata Arvin pada 13 Januari 2020.
Hal itu kemudian diamini oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Ia menyatakan, Harun masih di luar negeri dan belum kembali.
"Saudara tersangka HM itu sejak tanggal 6 Januari 2020 meninggalkan tempat wilayah Indonesia. Itu yang disampaikan oleh Kumham (Kemenkumham)," kata Firli.
Atas dasar itu, KPK kemudian melayangkan surat kepada Dirjen Imigrasi untuk menerbitkan perintah pencegahan terhadap caleg asal Dapil Sumatera Selatan I itu.
Tak sampai di sana, KPK juga meminta bantuan Polri untuk melakukan penangkapan.
Permohonan bantuan ini pun ditindaklanjuti dengan dimasukkannya Harun ke dalam daftar pencarian orang (DPO).
PDI-P bentuk tim hukum
Dua hari kemudian atau pada 15 Januari, PDI Perjuangan membentuk tim hukum yang terdiri atas 12 pengacara yang dipimpin oleh Teguh Samudra.
Adapun tim hukum itu dikoordinasi oleh I Wayan Sudirta yang juga merupakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
Pembentukan tim hukum ini diumumkan langsung oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan yang juga Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly.
“Belakangan ini tampaknya pemberitaan sudah semakin mengarah ke mana-mana tanpa boleh kami katakan tanpa didukung oleh fakta dan data yang benar. Dan karenanya, DPP partai menugaskan di samping kami bagian dari anggota fraksi kami, juga kami menunjuk beberapa pengacara untuk menjadi tim hukum kami,” kata Yasonna seperti dikutip Antaranews.com.
Baca juga: Yasonna Dukung Tim Hukum PDI-P, antara Kritik dan Pembelaan Jokowi...
Kendati membentuk tim tersebut, Yasonna mengaku bahwa dirinya tak dapat mengintervensi kasus yang tengah berjalan.
“Saya tidak punya kewenangan,” ucap dia.
Keberadaan Yasonna saat pengumuman itu pun dipertanyakan. Sebab, saat ini Yasonna tengah menyandang status sebagai Menkumham.
Sebaliknya, keberadaan Yasonna justru dapat memunculkan adanya konflik kepentingan. Pasalnya, kasus ini berkaitan dengan kementerian yang ia pimpin.
"Peran ganda ini tentu merugikan citra pemerintah sehingga terkesan ditarik ke dalam pusaran kasus korupsi yang melibatkan Harun Masiku, kader PDI-P, dan Wahyu Setiawan sebagai komisioner KPU," kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz kepada Kompas.com, Jumat (17/1/2020).
Pendapat yang sama juga disampaikan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Oce Madril.
Menurut dia, sebagai menteri, Yasonna tidak perlu turun tangan mengurusi masalah yang dialami kader partai tempatnya bernaung.
Demikian halnya juga terkait posisinya sebagai Ketua DPP.
Menurut Oce, Yasonna juga tidak perlu melakukan manuver apa pun karena PDI-P sudah membentuk tim hukum yang menangani polemik terkait kasus Harun.
"Persoalan ini kan lebih ke persoalan individu dan ini bukan persoalan institusi pemerintah, maka akan lebih baik enggak usah ikut yang begituan karena posisi sebagai Menkumham kan melekat," kata Oce.
Harun di Indonesia
Belakangan, keberadaan Harun Masiku mulai terkuak. Bukan di luar negeri seperti diinformasikan sebelumnya, Harun justru disebut telah berada di Indonesia.
Informasi yang berkembang, Harun bersembunyi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Kompas.com pun menelusuri jejak keberadaan Harun hingga di kediaman mertuanya yang berada di Perumahan Bajeng Permai Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa.
HI (26), istri kedua Harun, mengaku tidak mengetahui keberadaan suaminya. Komunikasi terakhir dengan Harun pun terjadi sehari sebelum OTT terjadi atau pada 7 Januari lalu.
HI mengatakan, selama ini suaminya terkesan tertutup tentang pekerjaannya. Soal statusnya sebagai buronan KPK pun justru ia ketahui dari media massa.
"Kalau soal aktivitasnya saya tidak tahu sebab dia agak tertutup dan kadang tiba tiba menelepon untuk ketemu bahwa ia ada di Makassar,” kata HI, Selasa (21/1/2020).
Baca juga: Polisi Cek Rumah Istri Harun Masiku di Gowa, Hasilnya Nihil
Sementara itu, peneliti ICW Kurnia Ramadhana berharap KPK dapat menindak oknum di lembaga antirasuah itu yang berbohong menyebut Harun masih berada di luar negeri.
Menurut dia, oknum tersebut dapat dikenakan pasal obstruction of justice atau upaya menghalangi penegakan hukum.
"Ini kan kalau benar ada upaya untuk menghalangi proses hukum dalam konteks penyidikan yang sedang dilakukan oleh KPK ada instrumen hukumnya, dalam UU Tipikor kita Pasal 21 tegas sekali menyebutkan obstruction of justice," kata Kurnia di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Senin (20/1/2020).
Kurnia kemudian merujuk laporan majalah Tempo yang menyebut Harun telah berada di Indonesia sejak 7 Januari 2020.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo dapat mengambil langkah tegas terhadap instansi yang menyebarkan kebohongan publik atas keberadaan buronan tersebut.
"Jadi kan selama ini Kementerian Hukum dan HAM mengatakan Harun di luar negeri. Sementara otoritas yang harusnya lebih tahu soal keberadaan yang bersangkutan, apalagi melalui lalu lalang penerbangan internasional kan Kemenkumham, Ditjen Imigrasi," ucap Kurnia.
"Soal temuan Tempo itu menarik. Saya rasa kalau menjadi sebuah kebenaran tidak ada alasan apa pun untuk Presiden Jokowi untuk tidak menegur instasi terkait yang telah melakukan kebohongan publik," ucap dia.
Diamini Imigrasi
Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F Sompie lantas membenarkan keberadaan Harun di Tanah Air sejak 7 Januari.
Pernyataannya ini sekaligus menganulir pernyataan Kemenkumham sebelumnya yang menyebut Harun masih di luar negeri.
Baca juga: Imigrasi Sebut Harun Masiku di Indonesia, Ini Kata KPK
Menurut dia, Harun tiba di Indonesia dari Singapura dengan menggunakan maskapai Batik Air dan turun di Bandara Soekarno-Hatta.
"Saya sudah menerima informasi berdasarkan pendalaman di sistem, termasuk data melalui IT yang dimiliki stakeholder terkait di Bandara Soekarna-Hatta, bahwa HM telah melintas masuk kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Batik pada tanggal 7 Januari 2020," kata Ronny kepada wartawan, Rabu (22/1/2020).
Kepastian informasi ini diketahui setelah pada tanggal yang sama Ditjen Imigrasi melakukan pencegahan terhadap Harun atas permintaan KPK.
Namun, Ronny menyatakan, pihaknya terlambat dalam memproses data perlintasan di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta, tempat Harun tiba di Indonesia.
Dengan demikian, informasi keberadaan Harun baru diketahui baru-baru ini.
"Saya telah memerintahkan kepada Kepala Kantor Imigrasi Kelas 1 Khusus Bandara Soetta dan Direktur Sistem Informasi dan Teknologi Keimigrasan Ditjen Imigrasi untuk melakukan pendalaman terhadap adanya delay time dalam pemrosesan data perlintasan di Terminal 2F Bandara Soetta, ketika HM melintas masuk," kata Ronny.
Di lain pihak, pernyataan berbeda disampaikan oleh Arvin. Menurut dia, pihaknya tak bisa menyampaikan informasi keberadaan Harun kepada publik lantaran masih menunggu izin dari atasannya.
Hanya saja, ia tak menyebut siapa atasan yang dimaksud.
"Perintah untuk kami menyampaikan tuh hari ini. Terkait kapan kami peroleh, saya tidak bisa katakan," kata Arvin di Kantor Kemenkumham, Rabu (22/1/2020).
Baca juga: Tunggu Perintah Atasan, Alasan Imigrasi Baru Ungkap Kedatangan Harun
Menanggapi informasi keberadaan Harun di Tanah Air, Menkumham justru bungkam.
Ia segera meninggalkan awak media yang sebelumnya meliput kegiatan konferensi pers terkait permintaan maafnya kepada masyarakat Tanjung Priok, lantaran ucapan sebelumnya yang dinilai telah menghina warga wilayah tersebut.
Sebaliknya, Yasonna justru meminta awak media bertanya kepada Dirjen Imigrasi.
"Itu Dirjen, Dirjen Imigrasi," kata Yasonna sembari meninggalkan Ruang Pers di Gedung Ditjen Imigrasi Kemenkumham, dengan pengawalan ketat.
Sementara itu, KPK berharap agar Harun dapat segera ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Menurut Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, pihaknya telah melakukan sejumlah upaya dalam memburu Harun sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus suap yang melibatkan eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
"Kami berharap tersangka HAR dapat segera ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum," kata Ali.
Baca juga: Soal Keberadaan Harun Masiku, Desmond Lebih Percaya Dirjen Imigrasi ketimbang Yasonna Laoly
Di lain pihak, Kurnia menilai, pernyataan Dirjen Imigrasi menjadi petunjuk bahwa Yasonna dan Firli telah menyebarkan kebohongan.
ICW pun mendorong KPK untuk menerapkan pasal obstruction of justice kepada pihak-pihak yang menyebarkan hoaks terkait keberadaan Harun.
"Ketika ada pihak-pihak yang berupaya menyembunyikan Harun Masiku dengan menebarkan hoaks seperti itu mestinya KPK tidak lagi ragu untuk menerbitkan surat perintah penyelidikan dengan dugaan obstruction of justice sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor," ucap Kurnia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.