"Peran ganda ini tentu merugikan citra pemerintah sehingga terkesan ditarik ke dalam pusaran kasus korupsi yang melibatkan Harun Masiku, kader PDI-P, dan Wahyu Setiawan sebagai komisioner KPU," kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz kepada Kompas.com, Jumat (17/1/2020).
Pendapat yang sama juga disampaikan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Oce Madril.
Menurut dia, sebagai menteri, Yasonna tidak perlu turun tangan mengurusi masalah yang dialami kader partai tempatnya bernaung.
Demikian halnya juga terkait posisinya sebagai Ketua DPP.
Menurut Oce, Yasonna juga tidak perlu melakukan manuver apa pun karena PDI-P sudah membentuk tim hukum yang menangani polemik terkait kasus Harun.
"Persoalan ini kan lebih ke persoalan individu dan ini bukan persoalan institusi pemerintah, maka akan lebih baik enggak usah ikut yang begituan karena posisi sebagai Menkumham kan melekat," kata Oce.
Harun di Indonesia
Belakangan, keberadaan Harun Masiku mulai terkuak. Bukan di luar negeri seperti diinformasikan sebelumnya, Harun justru disebut telah berada di Indonesia.
Informasi yang berkembang, Harun bersembunyi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Kompas.com pun menelusuri jejak keberadaan Harun hingga di kediaman mertuanya yang berada di Perumahan Bajeng Permai Limbung, Kecamatan Bajeng, Kabupaten Gowa.
HI (26), istri kedua Harun, mengaku tidak mengetahui keberadaan suaminya. Komunikasi terakhir dengan Harun pun terjadi sehari sebelum OTT terjadi atau pada 7 Januari lalu.
HI mengatakan, selama ini suaminya terkesan tertutup tentang pekerjaannya. Soal statusnya sebagai buronan KPK pun justru ia ketahui dari media massa.
"Kalau soal aktivitasnya saya tidak tahu sebab dia agak tertutup dan kadang tiba tiba menelepon untuk ketemu bahwa ia ada di Makassar,” kata HI, Selasa (21/1/2020).
Baca juga: Polisi Cek Rumah Istri Harun Masiku di Gowa, Hasilnya Nihil
Sementara itu, peneliti ICW Kurnia Ramadhana berharap KPK dapat menindak oknum di lembaga antirasuah itu yang berbohong menyebut Harun masih berada di luar negeri.
Menurut dia, oknum tersebut dapat dikenakan pasal obstruction of justice atau upaya menghalangi penegakan hukum.
"Ini kan kalau benar ada upaya untuk menghalangi proses hukum dalam konteks penyidikan yang sedang dilakukan oleh KPK ada instrumen hukumnya, dalam UU Tipikor kita Pasal 21 tegas sekali menyebutkan obstruction of justice," kata Kurnia di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Senin (20/1/2020).
Kurnia kemudian merujuk laporan majalah Tempo yang menyebut Harun telah berada di Indonesia sejak 7 Januari 2020.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo dapat mengambil langkah tegas terhadap instansi yang menyebarkan kebohongan publik atas keberadaan buronan tersebut.
"Jadi kan selama ini Kementerian Hukum dan HAM mengatakan Harun di luar negeri. Sementara otoritas yang harusnya lebih tahu soal keberadaan yang bersangkutan, apalagi melalui lalu lalang penerbangan internasional kan Kemenkumham, Ditjen Imigrasi," ucap Kurnia.
"Soal temuan Tempo itu menarik. Saya rasa kalau menjadi sebuah kebenaran tidak ada alasan apa pun untuk Presiden Jokowi untuk tidak menegur instasi terkait yang telah melakukan kebohongan publik," ucap dia.
Diamini Imigrasi
Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F Sompie lantas membenarkan keberadaan Harun di Tanah Air sejak 7 Januari.