JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, pihaknya menelusuri kemungkinan pendanaan terorisme yang memanfaatkan inovasi keuangan digital.
PPATK juga meneliti temuan dalam proses penelusuran tersebut.
"Ya penelusurannya kan terus berlangsung ya. Terus kita teliti, terus kita monitor. Jadi tidak berhenti gitu saja," ujar Kiagus di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (21/1/2020).
"Jadi ada transaksi dari dalam dan ke luar negeri, ada transaksi mencurigakan (secara digital) atau transaksi tunai ya tetap berjalan (penelusuran)," kata dia.
Hasil penelusuran ini, kata Kiagus, langsung disampaikan kepada penegak hukum.
Baca juga: PPATK Telusuri Aliran Dana dari 5.000 Transaksi di Jiwasraya
Dalam konteks terorisme, hasil penelusuran langsung disampaikan kepada Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Sebelumnya, Kiagus mengingatkan adanya pendanaan terorisme lewat inovasi keuangan digital.
Menurut dia, inovasi keuangan digital mempertinggi risiko pendanaan terorisme.
"Adanya inovasi keuangan digital dan realita penggunaan virtual currency (mata uang digital) dalam financial crime (kejahatan finansial) mempertinggi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme," ujar Kiagus saat memberikan paparan dalam acara Rakor PPATK di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (21/1/2020).
Sebab, kata dia, pelaku tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) juga menerapkan pola yang sama dengan pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam memanfaatkan inovasi keuangan digital
"Pelaku tindak pidana pendanaan terorisme juga memanfaatkan adanya inovasi keuangan digital, seperti penghimpunan dana melalui crowd funding (penggalangan dana dalam jumlah besar) dan penggunaan virtual currency sebagai sumber kegiatan terorisme," ujar Kiagus.
Kiagus mengungkapkan, pola tindak pidana pencucian uang kini sudah memasuki era digital atau digital money laundering.
Dalam kondisi ini, pelaku kejahatan tidak lagi menikmati hasil kejahatannya dalam bentuk uang tunai atau jenis aset lainnya, tetapi mereka memanfaatkan teknologi informasi dalam mengelola dana ilegal tersebut.
"Interaksi antarmanusia tidak lagi dapat dilihat secara nyata. Uang dan mekanisme transaksinya berada pada dunia maya, tidak kelihatan tapi nyata," kata Kiagus.
Perkembangan kondisi ini, menurut Kiagus, menjadi faktor pendorong untuk menentukan arah kebijakan PPATK dalam mencegah TPPU dan TPPT di Indonesia.