Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dugaan Kekerasan yang Sistematis dalam Kasus Tragedi Semanggi I dan II

Kompas.com - 21/01/2020, 05:05 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

Berdasarkan rekomendasi KPP HAM, Arief memaparkan dugaan adanya serangan yang dilakukan secara sistematis sejak Tragedi Trisakti pada Mei 1998 hingga Tragedi Semanggi I dan II.

Penelusuran di lapangan oleh KPP HAM menghasilkan 4 poin, yakni;

1. Pernyataan verbal yang menunjukkan adanya kebijakan menyerang dengan kekerasan terhadap mahasiswa.

2. Adanya rencana menghadapi gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat secara formal dijabarkan dalam kebijakan Operasi Mantap ABRI (1997-1998) dan Operasi Mantap Brata (1999). Kedua kebijakan ini kemudian diturunkan dalam berbagai bentuk operasi dan wilayah (di berbagai Kodam) dengan bentuk penghadangan dan penyerangan terhadap aksi mahasiswa pada ketiga tragedi tersebut.

3. Adanya tujuan politik yang ingin dicapai dari penyerangan itu, yakni untuk mempertahankan rezim politik saat itu, baik Soeharto maupun BJ Habibie. Dalam konteks mencapai tujuan politik ini maka mahasiswa dan masyarakat yang menuntut perubahan dipersepsikan sebagai "perusuh negara".

4. Pengerahan pasukan dengan segala peralatan kekerasan secara masif.

Baca juga: Kronologi Pembentukan Pam Swakarsa 1998, Menurut Gugatan Kivlan Zen ke Wiranto

"Sebagai contoh, dalam Tragedi Semanggi I dikerahkan 18.040 pasukan TNI dan Polri, belum termasuk kekuatan sipil seperti Pam Swakarsa yang dihadapkan pada aksi-aksi mahasiswa. Polda Metro Jaya melibatkan kurang lebih 125 ribu warga sipil pada Tragedi Semanggi I," tulis Arief.

Rekomendasi DPR

Sementara itu, masih berdasarkan tulisan Arief, DPR periode 1999-2004 menerbitkan keputusan tentang pembentukan Pansus DPR mengenai kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi I (TSS).

Pansus tersebut beranggotakan 50 orang dari 10 Fraksi, dengan tugas memantau proses penyelesaian kasus Trisakti serta Kasus Semanggi I dan II.

"Hasil kerja pansus adalah 'rekomendasi' yang kemudian dilaporkan kepada Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Rekomendasi Ini dicapai melalui voting pada 27 Juni 2001," tulis Arief.

Baca juga: Penjelasan Jaksa Agung soal Ucapan Tragedi Semanggi I dan II Bukan Pelanggaran HAM Berat

Menurut daftar hadir, anggota pansus yang hadir saat itu sebanyak 26 orang. Akan tetapi, pada saat voting berlangsung, yang hadir hanya 19 orang.

Hasil votingnya, sebanyak 14 suara setuju merekomendasikan penyelesaian peristiwa TSS melalui peradilan umum atau militer.

Alasannya, tragedi TSS dinilai bukan pelanggaran HAM berat.

Kemudian, ada lima suara setuju dengan rekomendasi kepada presiden untuk mengeluarkan keputusan presiden (keppres) tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com