Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Alasan KSPI Tolak Rancangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Kompas.com - 20/01/2020, 17:19 WIB
Dani Prabowo,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dibahas lebih lanjut antara DPR dengan pemerintah.

Sebab, selain tidak melibatkan seluruh stakeholder dalam penyusunannya, ada enam hal lain yang diduga berpotensi merugikan buruh bila RUU ini dibahas dan disahkan.

“Pertama, misalnya, (ada gagasan) menghapuskan upah minimum,” kata Iqbal saat audiensi dengan pimpinan DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/1/2020).

Baca juga: KSPI Sebut Buruh Tidak Dilibatkan dalam Pembuatan Draf Omnibus Law

Sebagai gantinya, akan diterapkan upah per jam. Bahkan, ia menyebut, ada wacana dua sistem pengupahan, yaitu upah minimum dan upah per jam.

Hal itu diketahui setelah pihaknya bertemu dengan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, beberapa waktu lalu.

“Kita tahu di negara maju ada (upah per jam), Singapura, Malaysia, ada. Tapi tidak ada upah minimum bulanan, yang ada upah minimum per jam. Di Indonesia (akan) ada upah minimum bulanan, ada upah minimum per jam,” kata dia.

“Ini upah minimum per jam ini juga harus jadi pertanyaan. Apakah upah minimum per jam atau upah produktivitas. Enggak jelas,” imbuh Iqbal.

Baca juga: Buruh: Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Lebih Berpihak pada Pengusaha

Sejauh ini, wacana yang mencuat yaitu bagi pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam dalam sepekan, akan berlaku upah minimum per jam. Sementara, bagi yang dapat melebihi target jam kerja, akan digaji sesuai dengan upah minimum.

“Ini diskriminasi,” tegasnya.

Kedua, bagi pekerja yang diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan, tidak akan mendapat pesangon. Sebagai gantinya, mereka akan mendapatkan uang tunjangan PHK melalui BPJS Ketenagakerjaan sebesar enam bulan kali gaji.

Menurut dia, besaran uang tunjangan itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan uang pesangon yang seharusnya diterima. Bila merujuk mekanisme yang berlaku saat ini, setiap pekerja yang telah bekerja lebih dari delapan tahun, akan mendapat pesangon sebesar sembilan kali gaji.

Selain itu, mereka juga akan mendapatkan penghargaan masa kerja kira-kira tiga bulan kali gaji dan ditambah dengan penggantian hak sebesar 15 persen selama dua bulan.

“Kalau (diakumulasikan) 14 bulan, (tapi ini) diturunkan jadi enam bulan itu persoalan serius. Pesangon itu kan daya tahan buruh ketika dia kehilangan pekerjaan,” ujarnya.

Baca juga: KSPI Duga Pemerintah Berupaya Hapus Pesangon lewat Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Berikutnya, ada kekhawatiran bahwa tenaga kerja asing tanpa keahlian akan membanjiri bursa kerja dalam negeri. Padahal, seharusnya tenaga kerja asing yang masuk harus memiliki skill tertentu sehingga dapat saling mentransfer ilmu tersebut ke pekerja dalam negeri.

Keempat, hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun karena yang berlaku upah per jam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com