"Saya pikir apa yang disampaikan presiden (target 100 hari rampung omnibus law) bukan hal mustahil," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Jika menengok kekuatan parpol pendukung pemerintah yang mayoritas di DPR, menggolkan dua UU Omnibus Law ini bukan perkara sulit.
Kendati demikian, suara penolakan di luar parlemen lantang disuarakan oleh para buruh.
Penolakan buruh
Organisasi buruh menentang UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja karena dianggap justru akan merugikan para pekerja.
Pada Senin (20/1/2020) hari ini, buruh menggelar aksi besar-besaran di depan Gedung DPR untuk menyatakan penolakan pada UU sapu jagat tersebut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Saiq Iqbal setidaknya mencatat ada enam alasan penolakan dari serikat buruh terkait dengan RUU Omnibus Law.
Pertama, dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum.
Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.
Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum.
Kedua, aturan mengenai pesangon dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, yakni tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah.
Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah.
Ketiga, buruh menolak istilah fleksibilitas pasar kerja. Iqbal menilai, istilah ini dapat diartikan tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT).
Baca juga: Jelang Demo Buruh Tolak RUU Omnibus Law, Penjagaan Gedung DPR Diperketat
Keempat, omnibus law ini juga dikhawatirkan menghapus berbagai persyaratan ketat bagi tenaga kerja asing.
Kelima, jaminan sosial yang berpotensi hilang diakibatkan karena sistem kerja yang fleksibel.