JAKARTA, KOMPAS.com - Siapa sangka telepon Wawan ketika Arief Priyadi sedang memotong dahan pohon jambu di halaman rumah menjadi telepon terakhir dari putra sulungnya itu.
Siang itu, Jumat 13 November 1998, Arief tengah berada di sekitar kantornya.
Seseorang membisikinya bahwa tengah terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa di kawasan Semanggi. Panglima ABRI saat itu meminta memulangkan seluruh karyawan.
Dalam bukunya yang berjudul "Saatnya Korban Bicara: Menata Derap Merajut Langkah", Arief mengaku tak merasa gelisah dengan kondisi yang semakin lama semakin tak biasa itu.
Ia tetap yakin bahwa Wawan, putranya yang kuliah di Unika Atma Jaya Jakarta, tidak ikut demonstrasi karena ia sudah mewanti-wantinya.
Wawan juga tipe anak yang patuh terhadap nasihat orangtua.
Pukul 16.15, ketika Arief sedang memotong dahan pohon jambu di halaman, telepon rumah berdering. Rupanya dari Wawan.
Baca juga: Hari-Hari Terakhir Yun Hap, Mahasiswa UI Korban Tragedi Semanggi II
Wawan sempat bertanya mengapa ayahnya itu sudah pulang kantor jam segini.
Arief menjawab, ia menerima kabar tentang adanya imbauan dari Panglima ABRI agar karyawan di perkantoran segera dipulangkan.
"Ini berati keadaan gawat, Wan! Kamu cepat pulang saja!" ujar Arief saat itu.
"Ya, penginnya cepat pulang, Pak, tetapi mana mungkin. Bawa motor, lagi! Jalan kaki saja susah! Di sini seperti mau perang, Pak," timpal Wawan.
Arief pun akhirnya tak mempermasalahkan Wawan yang tak bisa pulang cepat. Namun, ia meminta agar Wawan yang bernama lengkap BR Norma Irmawan itu untuk menjaga diri.
"Ya, Pak. Saya enggak pernah keluar kampus, kok. Sudah ya, Pak. Daaah!" ujar Wawan menutup percakapan.
Percakapan itu benar-benar percakapan terakhir dengan Wawan setelah kemudian ia menerima kabar bahwa Wawan tertembak di sekitar kampusnya.
Ia dan sang istri diminta segera datang ke Rumah Sakit Jakarta.
Baca juga: Adian Sakit Hati Tragedi Semanggi Disebut Bukan Pelanggaran HAM Berat
Setibanya di sana, baru keesokan pagi ia bisa menemukan Wawan dalam suasana sekitar yang begitu genting.
Beberapa kali suara peluru terdengar. Dalam perjalanan menuju ke sana, ia sempat melihat aparat bersenjata yang menyerang demonstran.
Pemandangan itu membenarkan cerita Wawan saat meneleponnya, "di sekitar Semanggi seperti perang".
Hingga akhirnya, Wawan ditemukan dan ia melihat Wawan sudah dibaringkan di keranda, di ruang jenazah basement Rumah Sakit Jakarta.
Wawan harus diotopsi, jenazahnya dibawa ke RSCM. Dalam perjalanan ke sana, ambulans kena tembak di bagian bawah dekat roda belakang sebelah kanan.
Dari suaranya, itu bukan peluru karet. Setelah diotopsi, jenazah Wawan disemayamkan di Rumah Sakit St Carolus hingga dibawa pulang ke kediaman di daerah Meruya, Jakarta Barat.
Saat Wawan tengah disemayamkan, Arief dibuat sedikit berang ketika dimintai tanggapan oleh wartawan terkait pernyataan panglima ABRI yang saat itu dijabat Wiranto.
Baca juga: PPP Usulkan DPR Bentuk Pansus Tragedi Semanggi untuk Buka Hasil Paripurna 2001
Wiranto mengatakan, aparat bersenjata baik TNI maupun polisi yang bertugas di sekitar Semanggi tidak dipersenjatai peluru tajam.
Bahkan, menurut Wiranto, peluru yang mengenai para korban bukan peluru standar ABRI.
"Lalu, peluru yang mengenai korban hingga tewas itu punya siapa? Punya pemulung? Yah, dia ingin menghindar, cuci tangan, ingin lari dari tanggung jawab," ujar Arief saat itu menanggapinya.
Hingga saat ini, keluarga Wawan terus menuntut keadilan atas peristiwa tersebut.
Tragedi Semanggi I telah menewaskan 17 orang, termasuk tiga orang anggota Pam Swakarsa dan enam orang di antaranya adalah mahasiswa, termasuk Wawan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.