JAKARTA, KOMPAS.com - Pada Jumat (24/9/1999) malam, pukul 20.00 WIB, Yun Hap tengah asyik melahap roti di tengah jalur hijau dekat jalan masuk RS Jakarta, Jakarta.
Saat itu, Yun Hap bersama beberapa temannya tengah bersiap untuk kembali ke kampusnya, Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat.
Namun, tiba-tiba rombongan truk tentara melaju kencang dari arah Jalan Thamrin.
Tak berselang lama setelah parade truk tentara terlihat, rentetan peluru tajam dimuntahkan dengan arah membabi-buta.
Orang-orang berlari, berhamburan menyelamatkan diri. Dari rentetan tembakan itu, ternyata salah satu peluru tersebut mengenai Yun Hap.
Peluru bersarang di rahang kiri Yun Hap. Dia pun tewas.
Baca juga: Adian Sakit Hati Tragedi Semanggi Disebut Bukan Pelanggaran HAM Berat
Yup Hap meninggal ketika bergabung dalam gelombang demontrasi menentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang dibahas pemerintah dan DPR.
Salah seorang teman Yun Hap, Adi, baru mengetahui tembakan membabi-buta itu telah menewaskan sahabatnya setelah truk yang mengangkut tentara berlahan menjauh pergi.
"Saya tahu setelah saya cari tidak ada. Dan setelah saya datang ke kamar mayat, baru saya tahu kalau itu teman saya," kata Adi, mengutip pemberitaan Harian Kompas, 25 September 1999.
Pertemuan terakhir sang bunda
Beberapa hari sebelum gelombang demontrasi berlangsung, Yun Hap telah berencana bergabung bersama barisan demonstran untuk menolak aturan yang dianggap membahayakan itu.
Rencana tersebut bahkan disampaikannya kepada ibunya, Ho Kim Ngo.
Sang ibu sempat mengingatkan Yun Hap untuk tak turun ke jalan.
"Hap, jangan ikut. Tahun ini ciong siau ular," tulis Ho Kim Ngo dalam buku "Saatnya Korban Bicara: Menata Derap Merajut Langkah".
Ho Kim Ngo mengingatkan Yun Hup dengan mengaitkan tradisi China bahwa itu sebagai pertanda tidak bagus.