JAKARTA, KOMPAS.com - Perayaan Tahun Baru China atau Imlek tidak bisa dilepaskan dari sosok Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid.
Pria yang akrab disapa Gus Dur memiliki andil cukup besar hingga akhirnya etnis Tionghoa di Indonesia dapat merayakan Imlek secara bebas.
Catatan pemberitaan, sebagai soerang orang ulama nyentrik, Gus Dur memiliki pemiliki pemikiran pemikiran pluralis.
Gus Dur termasuk sosok yang tidak suka diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Baca juga: Peran Gus Dur di Balik Kebebasan Merayakan Imlek di Indonesia...
Dia juga orang pertama yang menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur menyudahi satu permasalah diskriminasi pada etnis Tionghoa hingga akhirnya mereka bisa merayakan Imlek secara bebas dan terbuka.
Keppres tersebut mematahkan aturan dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Baca juga: Gus Dur, Islam, dan Pancasila
Alasannya, saat itu Presiden Soeharto menganggap aktivitas warga Tionghoa menghambat proses asimilasi dengan penduduk pribumi.
Kala itu, etnis Tionghoa juga diminta untuk mengganti identitas menjadi nama Indonesia.
Ketika resmi menjabat sebagai Presiden, Gus Dur banyak tidak sependapat dengan pemikiran Soeharto.
Menurut dia, etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia karena itu harus mendapatkan hak-hak yang setara. Termasuk dalam menjalankan ibadah keagamaan.
Baca juga: Dalam Haul ke-10, Shinta Nuriyah Kenang Gus Dur sebagai Budayawan
Gus Dur juga sempat menganggap Muslim Tionghoa boleh merayakan Tahun Baru Imlek sehingga tidak dianggap sebagai tindakan musyrik.
Bagi dia, perayaan ini adalah bagian dari tradisi budaya, bukan agama.
Dia kemudian menjadikan hari raya Imlek sebagai hari libur fluktuatif. Artinya hanya yang merayakan yang diperbolehkan libur.