JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo angkat bicara soal penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang gagal menggeledah kantor DPP PDI-P karena belum mengantongi izin Dewan Pengawas KPK.
Setelah ada insiden itu, ada anggapan bahwa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK terbukti menghambat kinerja lembaga antirasuah.
Namun, Jokowi membantah anggapan bahwa KPK menjadi lemah karena UU baru tersebut.
Baca juga: KPK Lambat Geledah DPP PDI-P, ICW: Bukti UU KPK Baru Mempersulit
Jokowi menilai bahwa KPK justru terbukti masih kuat karena sudah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah serta Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
"Buktinya KPK melakukan OTT, ke bupati dan KPU, meskipun komisonernya masih baru, dewan pengawasnya masih baru," kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Hanya saja, Jokowi mengakui bahwa ada sejumlah aturan yang perlu dibuat dan diperbarui untuk menyesuaikan dengan UU KPK yang baru.
"Saya kira memang di KPK masih banyak aturan-aturan yang harus dibuat dan diperbarui," ucap Jokowi yang juga politisi PDI-P ini.
Jokowi pun tak menjawab saat ditanya soal sejumlah pihak yang mendesaknya kembali menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk mencabut UU KPK yang baru disahkan.
Baca juga: Jokowi Kembali Didesak Terbitkan Perppu KPK, Ini Respons Istana
Ia beralasan tak mau banyak berkomentar karena tak mau dianggap melakukan intervensi terhadap kerja KPK.
"Saya tidak mau berkomentar banyak, nanti dianggap melakukan intervensi," kata Kepala Negara.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai rangkaian OTT terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan telah membuktikan bahwa UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK telah mempersulit kinerja KPK dalam hal penegakan hukum.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, hal itu terlihat dari lambatnya tim KPK dalam menggeledah kantor DPP PDI-P karena membutuhkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
"Padahal, dalam UU KPK lama (UU No 30 Tahun 2002) untuk melakukan penggeledahan yang sifatnya mendesak tidak dibutuhkan izin terlebih dahulu dari pihak mana pun," ujar Kurnia dalam keterangan tertulis, Minggu (12/1/2020).
Baca juga: Pengamat: Problem Bukan di Dewas KPK, tapi UU KPK Hasil Revisi
Menurut logika sederhana, kata Kurnia, tindakan penggeledahan yang bertujuan untuk mencari dan menemukan bukti tidak mungkin dapat berjalan dengan tepat dan cepat jika harus menunggu izin dari Dewan Pengawas KPK.
Hal itu belum ditambah persoalan waktu di mana proses administrasi tersebut dapat dipergunakan pelaku korupsi untuk menyembunyikan bahkan menghilangkan bukti-bukti.
"Dengan kondisi seperti ini, dapat disimpulkan bahwa narasi penguatan yang selama ini diucapkan oleh Presiden dan DPR hanya ilusi semata," kata Kurnia.
Desakan agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu KPK pun datang dari Ketua Departemen Politik DPP PKS Pipin Sopian.
Baca juga: KPK Lambat Geledah DPP PDI-P, PKS: Pemberantasan Korupsi Birokratis dan Memble
Menurut Pipin, kewajiban penyidik KPK meminta izin penyadapan dan penggeledahan kepada Dewas KPK meningkatkan potensi penghilangan barang bukti.
"Jika Perppu KPK tidak dikeluarkan Presiden dan atau revisi UU KPK dilakukan DPR, maka pemberantasan korupsi di Indonesia hanya sekadar mitos. Pejabat negara bebas menerima suap dan uang negara gampang digarong koruptor," kata Pipin.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa juga berharap pemerintah segera merespons pelemahan terhadap KPK.
Menurut dia, salah satu respons yang dapat diberikan adalah melalui Perppu KPK.
"Tinggal pemerintah merespons ini. Maka, tuntutan perppu yang berkaitan dengan pelemahan ini dalam rangka memperkuat saya pikir kita respons dengan baik," ujar Desmond.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.