JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai, alasan PDI-P menaikkan ambang batas parlemen demi penyederhanaan jumlah partai politik tidak relevan.
Juru bicara PSI Dedek Prayudi mengatakan, upaya penyederhanaan parpol dengan menaikkan ambang batas parlemen terbukti gagal.
"Penyederhanaan fraksi dari segi jumlah melalui PT (parliamentary threshold) terbukti gagal," kata Dedek kepada wartawan, Rabu (15/1/2020).
Ia mencontohkan kenaikan ambang batas parlemen dari tahun 2009 ke 2014. Saat itu, ambang batas parlemen yang semula 2,5 persen naik menjadi 3,5 persen.
Baca juga: Sikap Partai Politik Tanggapi Wacana Ambang Batas Parlemen 5 Persen...
Namun, kata Dedek, jumlah partai yang lolos ke DPR RI justru makin banyak. Ia mengatakan, ada sembilan fraksi di DPR berdasarkan hasil Pemilu 2009.
Sementara itu, menurut dia, ada sepuluh fraksi di DPR berdasarkan hasil Pemilu 2014.
"Kalau argumennya untuk mengurangi jumlah fraksi untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan di parlemen, kelihatannya kurang tepat," ucap Dedek.
Ia mengatakan, PSI lebih setuju jika parlemen menetapkan "ambang batas fraksi". Artinya, ada syarat minimal kursi dari partai-partai yang lolos ke DPR untuk membentuk satu fraksi.
"Misalnya, syarat mendirikan satu fraksi adalah 100 kursi. Maka, dari 575 kursi di DPR RI maksimal hanya akan dihasilkan lima fraksi. Ambang batas fraksi ini juga akan mencegah adanya suara yang terbuang," ujar dia.
Kendati demikian, Dedek menegaskan, PSI siap dengan berapa pun ambang batas parlemen yang ditetapkan pada Pemilu 2024.
Ia mengatakan, PSI terus bersiap menghadapi pemilu mendatang.
"Kami siap dengan berapa pun parliamentary threshold yang ditetapkan oleh DPR. PSI optimistis dapat menyiapkan diri untuk mencapai treshold dalam empat tahun ke depan," kata Dedek.
Sementara itu, terkait wacana pemilu dengan sistem proporsional tertutup, Dedek menyatakan, PSI menolak hal tersebut.
Dedek mengatakan PSI mendukung sistem politik yang transparan.
"Sistem proporsional tertutup akan berdampak pada semakin elitis dan tertutupnya proses pencalonan anggota legislatif berbasiskan pada kedekatan dengan petinggi partai atau transaksi jual-beli nomor urut tertinggi," kata dia.