JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggelar sidang praperadilan perdana eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi Abdurachman dan dua tersangka lain dalam kasus suap terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sidang praperadilan perdana ini berlangsung pada Senin (13/1/2020) dan dipimpin majelis hakim Ahmad Jaini.
Nurhadi dkk melawan lembaga antirasuah berkaitan dengan penetapan tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi pada pengurusan perkara di Mahkamah Agung tahun 2011-2016.
Adapun dalam gugatan ini terdapat tiga pemohon, yakni pemohon I sang menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono.
Kemudian pemohon II Nurhadi dan pemohon III Direktur PT Multicon Indrajaya Hiendra Soenjoto.
Baca juga: KPK Minta Nurhadi Kooperatif, kalau Tidak...
Secara keseluruhan, Nurhadi diduga melalui Rezky telah menerima suap dan gratifikasi dengan nilai mencapai Rp 46 miliar.
Menurut KPK, ada tiga perkara yang menjadi sumber suap dan gratifikasi yang diterima Nurhadi, yakni perkara perdata PT MIT vs PT Kawasan Berikat Nusantara, sengketa saham di PT MIT, dan gratifikasi terkait dengan sejumlah perkara di pengadilan.
Penetapan tidak sah
Kuasa hukum Nuhadi dkk, Maqdir Ismail, mengungkapkan, penetapan kliennya sebagai tersangka suap tidak sah.
Alasannya, kliennya tidak pernah dipanggil KPK untuk dimintai keterangan selama sebelum penetapan tersangka.
"Tidak ada (panggilan), terhadap Pak Nurhadi dan Rezky, tidak ada panggilan sama sekali, langsung penetapan tersangka," ujar Maqdir kepada Kompas.com di PN Jakarta Selatan, Senin (13/1/2020).
Baca juga: Tak Terima Jadi Tersangka, Eks Sekretaris MA Nurhadi Ajukan Praperadilan
Maqdir menjelaskan, Nurhadi dan Rezky ditetapkan hanya berdasarkan pengembangan terhadap penetapan tersangka Hiendra.
Karena itu, kata Muqdir, penetapan dari hasil pengembangan seharusnya juga dilakukan penyelidikan atau pemeriksaan terhadap calon tersangka.
"Itu kan harus ada penyelidikan dulu baru kemudian dilakukan penetapan tersangka," kata Maqdir.
"Maka pengembangan itu kan harus ada penyelidikan tersendiri, tidak bisa dikaitkan begitu saja dengan perkara yang baru," terang Maqdir.