Sama seperti terdahulu, Presiden Jokowi juga tidak membutuhkan waktu lama untuk pergi ke Natuna usai peristiwa pelanggaran kedaulatan terulang oleh kapal Coast Guard China, awal Januari 2020.
Presiden tetap mengedepankan kekuatan militer. Hal itu terbukti dari pengerahan kapal perang dan kapal Bakamla di Natuna.
Bahkan, Bakamla menyebut, 30 persen kekuatannya berada di perbatasan Natuna.
Presiden sempat mengecek kesiapsiagaan personel TNI AL di KRI Usman Harun.
Sementara itu, pesawat tempur yang diterbangkan dari Skadron Udara 16 Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru juga memantau dari udara.
"Ini menunjukkan bahwa kedaulatan RI itu tidak boleh diganggu dan tidak boleh ditawar menawar. Dan itu merupakan hal prinsip," kata Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
"Dan Presiden sudah mengatakan di dalam sidang kabinet paripurna kemarin untuk urusan Natuna tidak ada tawar menawar," sambung dia.
Baca juga: Tinjau Kapal Perang di Natuna, Jokowi Tegaskan Hak Berdaulat Indonesia di ZEE
Meski demikian, terdapat sedikit perbedaan pendekatan Kepala Negara dalam kehadirannya kali ini.
Tidak hanya mengedepankan kekuatan militer saja, kali ini Kepala Negara juga mewarnai upaya memperteguh kedaulatan NKRI di Natuna dengan kegiatan ekonomi.
Di Natuna, Presiden bersilaturahim dengan nelayan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Selat Lampa. Mereka sedang dipersiapkan secara khusus melaut di perairan Natuna.
Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah memakan waktu beberapa tahun untuk membangun infrastruktur perikanan di Natuna.
Jokowi juga menyebutkan, segala kekurangan sarana dan prasarana perikanan harus segera diperbaiki.
Ia tidak ingin sarana perikanan menjadi sia-sia.
"Jangan sampai bangunan yang saya lihat baik seperti ini tidak memberi manfaat kepada nelayan," ujar dia.
Baca juga: Bertolak ke Natuna, Presiden Jokowi Akan Bertemu Ratusan Nelayan
Pemerintah menegaskan komitmen untuk mendukung semua upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan.