Karena sila ketuhanan ini, syariah dilindungi oleh negara, meskipun dalam konteks undang-undang (qanun) bukan konstitusi (dustur).
Ketiadaan dimensi doktrinal dari agama tertentu membuat ketuhanan dalam Pancasila tidak mewakili sektarianisme, sebagaimana dikhawatirkan sistem sekular.
Mengapa? Karena ketuhanan yang ditegakkan Pancasila ialah nilai-nilai ketuhanan modern, berisi penghormatan terhadap kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Hal ini tentu tidak terlintas di benak kalangan sekular yang melihat Islam dari kesempitan pandangan kelompok radikal.
Kedua, nilai-nilai Pancasila ternyata mencerminkan nilai-nilai Islam.
Bagi Gus Dur, keagungan Islam di abad modern ini disebabkan oleh pandangan dunia (weltanschauung) yang dibangun oleh tiga nilai, yakni demokrasi (syura), keadilan (‘adalah), dan persamaan (musawah).
Demokrasi merujuk pada kehidupan politik non-otoriter. Keadilan mengacu pada pemerataan ekonomi, dan persamaan merujuk pada kesetaraan warga di hadapan hukum.
Baca juga: Lambang Negara Garuda Pancasila, Arti dan Sejarahnya
Pandangan dunia yang sangat modern ini berangkat dari tugas kenabian Muhammad SAW sebagai penebar rahmat (QS Al-Anbiya’:107). Gus Dur memaknai rahmat bukan hanya kasih sayang yang abstrak, melainkan kesejahteraan.
Ketiga, karena Islam adalah “agama kesejahteraan”, maka bentuk suatu negara menjadi urusan sekunder, ketika bentuk itu bisa mencapai tujuan kesejahteraan.
Dalam hal ini Gus Dur menggunakan kaidah tujuan dan cara pencapaian (al-ghayah wa al-wasail). Selama sebuah tujuan bisa dicapai maka bentuk dari cara menjadi sekunder, tentu dengan catatan cara itu tidak bertentangan dengan tujuan.
Cara pandang seperti ini harusnya dimiliki pula oleh Muslim yang lain. Terlebih untuk menganggapi kampanye hitam yang dikembangkan trans-nasional Islam atas Pancasila.
Ketika tujuan negara menurut Imam al-Mawardi adalah menjaga agama dan mengatur dunia (hirasah al-dini wa siyasah al-dunya), pemahaman substantif atas hal ini harus dikedepankan.
Artinya, agama yang ingin ditegakkan ialah hukum kerahmatan Tuhan. Dari sinilah menjadi terpahami alasan Gus Dur menggunakan makna jihad menurut Syekh Ali bin Muhammad Arsyad al-Banjari dalam I’anah al-Thabilin (1298 H).
Baca juga: Biografi Soepomo, Perumus Pancasila dan UUD 1945
Dalam kitab tersebut, jihad bukan bermakna perang, melainkan pemenuhan hak-hak dasar atas umat yang dilindungi (daf’u dlarari ma’shum). Siapakah yang harus dilindungi? Semua warga termasuk non-Muslim.
Dalam rangka perwujudan kerahmatan ini, yang dibutuhkan tentulah Negara Pancasila, bukan negara agama yang despotik.
Menurut Gus Dur, hanya negara inklusif seperti Negara Pancasila yang bisa menaungi terpenuhinya “Pancasila” (ushul al-khams) dari tujuan syariah, yakni perlindungan atas agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta.
Oleh karena itu, fungsi negara sebagai penegak hukum Tuhan harus dipahami secara substantif melalui tekanan pada visi kerahmatan, baik yang terdapat dalam akidah (teologi), syariah (hukum), maupun akhlak (amal etis).
Kini, sepuluh tahun sudah Gus Dur berpulang ke Rahmatullah. Warisan pikiran tersebut semestinya menjadi modal bagi keagungan Indonesia sebagai bangsa Muslim terbesar yang demokratis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.