Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tuntutan 4 Tahun Penjara, Keyakinan KPK hingga Respons Romahurmuziy

Kompas.com - 07/01/2020, 06:31 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan pidana penjara terhadap mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Romy selama 4 tahun.

Selain itu, Romy juga dituntut membayar denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.

Hal itu disampaikan jaksa KPK saat membacakan surat tuntutan untuk Romy selaku terdakwa kasus dugaan suap terkait seleksi jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur.

"Kami penuntut umum dalam perkara ini menuntut agar majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, menyatakan terdakwa Romahurmuziy terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa KPK Wawan Yunarwanto saat persidangan, Senin (6/1/2020).

Baca juga: Kasus Suap Jabatan di Kemenag, Romahurmuziy Dituntut 4 Tahun Penjara

Menurut jaksa hal yang memberatkan adalah perbuatan Romy tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya.

Sementara hal yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan di persidangan.

Dinilai terbukti terima suap

Jaksa menganggap Romy terbukti menerima suap secara bertahap sebesar Rp 255 juta dari mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin.

Uang itu diberikan Haris agar Romy membantu memengaruhi proses seleksi jabatan yang diikuti Haris.

Sebab, Haris terkendala karena pernah terkena sanksi disiplin kepegawaian.

"Dalam proses seleksi jabatan, Haris Hasanuddin meminta bantuan terdakwa untuk mengintervensi proses seleksi tersebut kepada Lukman Hakim Saifuddin selaku Menteri Agama yang merupakan rekan separtai terdakwa," kata jaksa.

Baca juga: Romahurmuziy Akui Haris Hasanuddin Sempat Tinggalkan Tas Isi Uang Rp 250 Juta

Jaksa juga menanggapi keterangan Romy di persidangan sebelumnya yang mengaku berupaya mengembalikan uang suap sebesar Rp 250 juta ke Haris melalui salah satu pengurus PPP Jawa Timur, Norman Zein Nahdi.

Dalam persidangan, Norman mengaku memanfaatkan uang itu untuk kepentingan dirinya dan tidak diteruskan ke Haris kembali. Di persidangan, Norman mengaku sudah mengembalikan uang tersebut ke KPK.

Jaksa menilai penerimaan uang Rp 5 juta dan Rp 250 juta dari Haris Hasanuddin telah sempurna karena adanya delik yang sudah terjadi.

Baca juga: Di Hadapan Hakim, Romahurmuziy Mengaku Menyesal Terjerat Kasus Suap

Jaksa juga berpendapat Romy selaku pejabat publik memiliki nalar tinggi dan seharusnya menyadari soal regulasi yang memuat larangan penerimaan hadiah atau janji dari pihak tertentu.

Selain itu, jaksa memandang seharusnya Romy mengembalikan uang tersebut ke KPK, bukan melalui Norman Zein Nahdi. Norman juga dinilai jaksa tidak mampu membuktikan secara jelas uang Rp 250 juta yang dititipi Romy tersebut digunakan untuk apa saja.

Kemudian, Romy juga dianggap jaksa terbukti menerima Rp 50 juta dari mantan Kepala Kantor Kemenag Gresik Muafaq Wirahadi.

Uang tersebut diyakini jaksa agar Romy membantu Muafaq dipromosikan sebagai Kepala Kantor Kemenag Gresik.

"Terdakwa menerima uang sejumlah Rp 50 juta dalam goodiebag warna hitam bertuliskan Mandiri Syariah Priority dengan cara memerintahkan saksi Amin Nuryadi menerimanya secara langsung, yang sesaat kemudian ditangkap oleh KPK," katanya.

Jaksa juga meyakini, Romy mengetahui dan menghendaki pemberian sebesar Rp 41,4 juta dari Muafaq untuk sepupu Romy bernama Abdul Wahab.

"Terdakwa secara tidak langsung menerima pemberian dari saksi Muafaq Wirahadi yang diberikan melalui saksi Abdul Wahab keseluruhannya sebesar Rp 41,4 juta untuk membantu pencalegan saksi Abdul Wahab sebagai anggota DPRD Kabupaten Gresik," kata jaksa.

Tuntut hak politik dicabut dan uang pengganti

Jaksa juga menuntut majelis hakim mencabut hak politik Romy selama 5 tahun sejak ia selesai menjalani masa pidana pokoknya.

"Kami menuntut majelis hakim agar menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," kata jaksa.

Baca juga: Jaksa Tuntut Hak Politik Romahurmuziy Dicabut Selama 5 Tahun

Jaksa memandang, Romy merupakan anggota DPR sekaligus ketua partai yang bisa memengaruhi Menteri Agama saat itu Lukman Hakim Saifuddin yang merupakan kader PPP.

"Terdakwa karena pengaruhnya tersebut mengitervensi proses pengangkatan pejabat untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri maupun kelompoknya. Dengan kata lain terdakwa menggunakan pengaruh politiknya untuk melakukan perbuatan sebagaimana diuraikan," kata jaksa.

Jaksa menjelaskan, untuk menghindari negara dikelola oleh orang yang menggunakan jabatan demi kepentingan pribadi, keluarga, kolega atau kelompok, serta melindungi publik, diperlukan pencabutan hak politik.

"Hal ini untuk menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan dan orang lain yang akan melakukan kejahatan, sehingga fungsi hukum sebagai tool of social engineering dapat terwujud," kata jaksa.

Selain itu, jaksa juga meminta agar Romy membayar uang pengganti berupa sisa jumlah uang suap yang belum disita atau diserahkan ke KPK, yakni sebesar Rp 46,4 juta.

Terdakwa kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama Muhammad Romahurmuziy (kanan) berbincang dengan kuasa hukumnya saat menunggu jalanya sidang lanjutan kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (18/12/2019). Persidangan beragendakan mendengarkan keterangan saksi ahli. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nzANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA Terdakwa kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama Muhammad Romahurmuziy (kanan) berbincang dengan kuasa hukumnya saat menunggu jalanya sidang lanjutan kasus jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (18/12/2019). Persidangan beragendakan mendengarkan keterangan saksi ahli. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nz

Romy dan Lukman dinilai berbagi peran

Dalam salah satu pertimbangannya, jaksa meyakini Romy dan Lukman berbagi peran dalam mengitervensi seleksi jabatan demi meloloskan Haris Hasanuddin selaku Kakanwil Kemenag Jawa Timur.

"Terdapat kerja sama yang dilakukan antara terdakwa bersama Lukman Hakim Saifuddin. Kerja sama tersebut diwujudkan dengan adanya perbuatan berbagi peran yang dilakukan terdakwa bersama Lukman Hakim Saifuddin. Sehingga terwujudnya suatu delik," kata jaksa.

Baca juga: Jaksa KPK Yakini Romy dan Eks Menag Lukman Hakim Berbagi Peran dalam Intervensi Seleksi Jabatan

Menurut jaksa, intervensi tersebut dilakukan mengingat Lukman merupakan pemegang kekuasaan dalam pengangkatan dan pemberhentian jabatan di lingkungan Kemenag.

"Intervensi tersebut apabila dihubungkan dengan kedudukan terdakwa sebagai anggota DPR sekaligus ketua partai di mana Lukman Hakim Saifuddin merupakan anggota partai. Sedangkan terdakwa adalah ketua umumnya," kata jaksa.

Atas intervensi Romy tersebut, lanjut jaksa, Lukman melakukan serangkaian tindakan yang dapat meloloskan dan melantik Haris Hasanuddin menjadi Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur.

Baca juga: Eks Menag Lukman Hakim Disebut Ikut Intervensi Seleksi Jabatan, KPK Tunggu Putusan Hakim

Bahkan untuk menentukan calon yang akan diangkat sebagai calon Kakanwil Kemenag Jawa Timur, Lukman sebagaimana bukti rekaman percakapan dirinya dengan staf khususnya bernama Gugus Djoko Waskito meminta persetujuan Romy.

Jaksa memandang Romy maupun Lukman selanjutnya menerima uang dari Haris Hasanuddin dalam masa seleksi jabatan tinggi pratama di lingkungan Kemenag.

"Dimana terdakwa menerima uang sejumlah Rp 255 juta dan Lukman Hakim Saifuddin sebesar Rp 70 juta yang diterima oleh Lukman Hakim tanggal 1 Maret 2019 sejumlah Rp 50 juta dan tanggal 9 Maret 2019 sejumlah Rp 20 juta melalui Heri Purwanto selaku ajudan Lukman Hakim Saifuddin," kata jaksa.

Menurut jaksa, keduanya menyadari bahwa perbuatan tersebut merupakan hal yang dilarang tapi tetap dilakukan.

"Serta saling berbagi peran satu sama lain sehingga mewujudkan sempurnanya delik," kata jaksa.

Minta uang hasil geledah dirampas negara

Dalam pertimbangan lainnya, jaksa meminta majelis hakim dalam putusannya bahwa sejumlah uang yang disita KPK saat menggeledah ruang kerja Lukman Hakim Saifuddin dirampas untuk negara.

"Bahwa dalam persidangan Lukman Hakim Saifuddin tidak dapat menjelaskan asal-usul tentang uang tersebut dan tidak dapat membuktikan tentang penerimaan uang tersebut," kata jaksa.

Menurut jaksa, dalam persidangan, baik untuk terdakwa Romy atau mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin, Lukman hanya menjelaskan uang 30.000 dollar Amerika Serikat yang ditemukan KPK merupakan pemberian dari Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta dalam rangka Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) Asia.

"Akan tetapi tidak didukung dengan bukti yang sah begitu pula dengan penerimaan lainnya," kata jaksa.

Penerimaan lainnya yang dimaksud merujuk pada sejumlah uang lainnya yang ditemukan KPK saat menggeledah ruang kerja Lukman di Kemenag saat itu.

Yakni, satu amplop cokelat dengan tulisan "Sapa Penyuluh Agama Kanwil Kemenag Prov DKI JKT" yang berisi uang Rp 70 juta dalam pecahan Rp 100.000 sebanyak 688 lembar dan uang pecahan Rp 50.000 sebanyak 24 lembar.

Kemudian, amplop cokelat lainnya yang berisikan uang senilai Rp 30 juta dalam pecahan Rp 100.000 sebanyak 300 lembar.

Selanjutnya, amplop cokelat berisi uang senilai Rp 59,7 juta dalam pecahan Rp 100.000 sebanyak 597 lembar.

Selain itu, amplop cokelat berisi uang senilai Rp 30 juta dalam pecahan Rp 100.000 sebanyak 300 lembar.

"Dengan menginggat ketentuan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, uang tersebut haruslah dirampas untuk negara," kata jaksa.

Terdakwa kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama Romahurmuziy (kiri) berbincang dengan kuasa hukumnya saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (27/11/2019). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan dua orang saksi. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.
NOVA WAHYUDI Terdakwa kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama Romahurmuziy (kiri) berbincang dengan kuasa hukumnya saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (27/11/2019). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan dua orang saksi. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

Respons Romy

Usai persidangan, Romy menilai jaksa KPK terkesan hanya menyalin surat dakwaan dirinya dalam menyusun surat tuntutan ketimbang mencermati fakta persidangan.

"Tuntutan ini kan copy paste dari dakwaan. Sejak 11 September lalu saya sudah didakwa dengan tuntutan yang dibaca hari ini. Saya menyarankan ke depan sebaiknya tidak perlu ada pembuktian saksi-saksi itu. Dari dakwaan, langsung tuntutan saja, begitu. Sehingga tidak memboroskan biaya negara dan memenuhi asas perkara cepat gitu loh," kata dia.

Romy memandang apa yang ditulis jaksa KPK dalam dakwaan mengandung imajinasi yang dalam persidangan dinilainya tak terbukti.

"Tapi tetap dituliskan sebagai tuntutan, sehingga dikatakan tuntutan ini kan copy paste dari dakwaan sehingga sebaiknya ke depan saya sarankan kepada KPK tidak perlu menghadirkan saksi-saksi, dan untuk mempercepat, dan juga mengurangi biaya maka langsung saja pada tuntutan," ujar dia.

Baca juga: Dituntut 4 Tahun Penjara, Ini Respons Romahurmuziy

Romy juga menilai tuntutan jaksa KPK terkesan ragu-ragu. Ia mengklaim lantaran tidak sesuai dengan fakta persidangan.

Salah satunya ia menyoroti pandangan jaksa KPK soal adanya pengaruh dari dirinya sebagai Ketua Umum PPP yang dianggap mampu mengintervensi kader PPP sekaligus mantan Menteri Agama Lukman Hakin Saifuddin dalam seleksi jabatan di Kemenag.

Padahal jaksa sudah menyebutkan bahwa dirinya juga anggota DPR Komisi XI yang mengurusi bidang keuangan dan perbankan serta tidak bermitra dengan Kemenag.

"Pertanyaan yang paling sederhana adalah kalau saya bukan ketua umum PPP? Maka bisa enggak peristiwa ini dijadikan sebagai sebuah delik hukum? Kalau itu tidak bisa, maka tidak ada relevansi kedudukan saya sebagai anggota DPR," katanya.

Sehingga, Romy merasa tuntutan ini hanya sikap jaksa KPK yang anti terhadap dirinya saja. Ia juga menganggap ada kesan agenda tersembunyi dalam proses hukumnya di KPK, yakni mengucilkan partai politik, khususnya PPP.

"Karena itu ini menjadi bahan evaluasi yang ke depan mungkin harus dilakukan oleh DPR terhadap proses-proses hukum yang memang memiliki hidden agenda berupa depolitisasi partai-partai politik di jabatan publik," lanjut Romy.

Romy juga menyayangkan KPK menyita uang pribadinya yang disimpan oleh ajudannya saat terjaring operasi tangkap tangan (OTT).

Saat OTT, KPK menyita amplop cokelat berisi uang senilai Rp 40 juta, amplop putih berisi uang Rp 5 juta dan satu map yang di dalamnya terdapat dua amplop berisi uang Rp 20 juta, dan dua amplop putih lainnya berisi uang Rp 7 juta dan Rp 3,2 juta.

Jaksa KPK menilai Romy maupun ajudannya bernama Amin Nuryadi tidak dapat membuktikan asal-usul uang tersebut.

"Itu murni uang dari rumah yang dibawakan sebagai operasional juga dituntut kan, dirampas oleh negara. ini menunjukkan pemberantasan korupsi yang membabi-buta," kata Romy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama Seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama Seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Nasional
Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Nasional
Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Nasional
Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Nasional
Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Nasional
Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Nasional
Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Nasional
Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Nasional
Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com