JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta Tubagus Ahmadi mengatakan, ada dua hal yang jadi penyebab banjir besar di Jabodetabek belakangan ini.
Kedua hal itu adalah situasi iklim dan krisis ekologi. Tubagus menjelaskan salah satu krisis ekologi yang dihadapi saat ini adalah penataan ruang kota yang kurang baik.
"Krisis ekologi yaitu pertama, tata ruang kita tidak terkontrol dengan baik oleh pemerintah, bahkan tidak mampu mengontrol keterlanjuran," ujar Ahmadi dalam konferensi pers tentang bencana banjir Jabodetabek di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta, Senin (6/1/2020).
Baca juga: Walhi Pertanyakan Implementasi Pergub DKI soal Pengendalian Bencana
Selanjutnya, kata Ahmadi, adalah tata kelola daerah aliran sungai (DAS).
Ahmadi menilai tak ada perubahan signifikan dalam pengelolaan DAS di Jakarta sejak zaman pemerintahan Belanda.
"Tata kelola DAS di Jakarta tidak ada perubahan signifikan. Kita ada DAS Cisadane, DAS Ciliwung, dan punya DAS Citarum. Sesungguhnya Jakarta ini wilayah air," jelasnya.
"Pembangunannya juga dulu Gubernur VOC pertama di tahun 1616 membangun Jakarta dengan konsep kota air. Nah, sekarang tata kelola DAS dari sisi kelembagaan juga tidak ada perbaikan," kata Ahmadi.
Ia kemudian menyinggung soal program naturalisasi sungai yang dituangkan dalam Pergub DKI Jakarta.
Meski dinilai lebih baik dari normalisasi, Tubagus mengkritik program naturalisasi karena dianggap tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
"Konsep naturalisasi, lebih baik ketimbang normalisasi. Tapi kan naturalisasi ini sebenarnya sudah dilakukan teman-teman komunitas Ciliwung dan sebagainya. Tetapi ketika konsep dituangkan ke pergub, pelibatan masyarakat tidak dimasukkan dalam pergub itu," kata Ahmadi.
"Padahal tantangan naturalisasi adalah gimana ada pelibatan masyarakat di situ," tambahnya.
Baca juga: Meski Lebih Baik daripada Normalisasi, Naturalisasi Sungai Pemprov DKI Tetap Dikritik
Di lain sisi, ia juga mengkritik eksekusi normalisasi sungai yang pendekatannya selalu dengan penggusuran warga.
Menurut Ahmadi, Pemprov DKI Jakarta seharusnya bisa memikirkan alternatif lain yang melibatkan partisipasi warga.
"Dalam catatan LBH, normalisasi selalu pendekatannya penggusuran. Memang penggusuran saja PUPR kerjanya? Enggak. Bisa bagaimana membangun permukiman yang adaptif. Apakah dipikirkan? Ini minim partisipasi warga," tutur Ahmadi.
Baca juga: Greenpeace: Kita Harus Siap, Curah Hujan Ekstrem Bisa Jadi Rutin
Namun, ia mengatakan sudah bukan saatnya memperdebatkan konsep naturalisasi atau normalisasi.
Ahmadi menekankan, Pemprov DKI Jakarta harus mampu berkoordinasi dengan baik agar menghasilkan solusi terbaik bagi warga. Ia mencontohkan penanganan sedimentasi.
"Nah, sekarang soal betonisasi dan naturalisasi. Perdebatan mereka artinya menandakan pembangunannya tidak partisipatif. Misal PU betonisasi. Apa kerjaannya hanya betonisasi? Enggak. Banyak tugas PU dalam urusan sungai, bisa sedimentasi," kata Ahmadi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.