Identifikasi kebutuhan
Kebutuhan kita secara umum adalah pelaksanaan pemilu yang praktis, mulai dari tahapan sebelum, saat pemungutan suara, maupun sesudahnya. Secara umum, keberterimaan atas hasil pemilu cenderung membaik.
Ukuran sederhananya, permohonan pengujian perselisihan hasil pemilu pada Pemilu 2019 cenderung menurun dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya. Permohonan yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pun tidak terlalu banyak.
Dari 260 perkara perselisihan Pemilu Anggota Legislatif 2019 yang ditangani oleh MK tersebut, hanya 12 perkara yang diputus dikabulkan MK.
Negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Belanda, dan Kanada sudah (atau pernah) menerapkan e-voting. Pun sejumlah negara demokrasi “setengah-maju”, seperti India, Brasil, dan Filipina.
Hasilnya yang signifikan dan kerap diberi catatan tebal, partisipasi pemilih Filipina dalam Pemilu naik berkat e-voting, di mana partisipasi 81,62 persen dari 54,4 juta daftar pemilih yang menggunakan hak suaranya menjadi Pemilu 2016 menjadi yang terbaik dalam sejarah partisipasi publik pada pemilu Filipina.
Swiss dan Estonia juga kerap dicontohkan sebagai negara yang sukses menyelenggarakan pemilu dengan e-voting, terutama dikaitkan dengan peningkatan partisipasi pemilih.
Namun di sisi lain, tidak bisa pula diabaikan realitas bahwa sejumlah negara memilih kembali ke metode konvensional untuk pemungutan suara. Jerman dan Belanda adalah sebagian negara yang memilih pulang ke metode konvensional, antara lain karena alasan risiko manipulasi dan kecurangan yang sulit dideteksi.
Penurunan penggunaan e-voting maupun e-counting akibat penurunan kepercayaan seperti itu tidak hanya terjadi di Eropa, tetapi juga di negara-negara Amerika Utara dan Amerika Latin.
Kondisi seperti itu tentunya harus diperhitungkan, termasuk oleh kelompok muda yang kerap mensimplikasi teknologi sebagai penyelesai semua persoalan namun kurang peka terhadap ancaman peretasan teknologi kepemiluan yang bisa berdampak besar.
Undang-Undang Pemilu memberikan kesempatan bagi KPU untuk menyelesaikan rekapitulasi (manual) hasil pemilu selama maksimal 35 hari untuk menyelesaikan rekapitulasi yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat kecamatan, berlanjut ke kabupaten/kota, provinsi, hingga ke nasional.
Generasi mendatang dengan segala karakteristik yang melekatinya tentu setidaknya menginginkan pengumuman hasil pemilu lebih cepat diketahui.
Keberadaan lembaga survei dan hitung cepat (quick count) hanya bisa memberikan gambaran atau indikasi awal mengenai siapa yang memenangi pemilu, sementara soal detailnya hanya bisa diperoleh dari hasil resmi pemilu.
Bahkan rentang yang jauh antara publikasi hitung cepat dengan hasil resmi oleh penyelenggara bisa menjadi bumerang membukakan celah kecurangan, antara lain karena merosotnya minat publik untuk bersetia memantau proses rekapitulasi secara berjenjang.
Teknologi sebagai solusi