Di redaksi Kompas.com, ia kerap dipanggil Kong Latip. Beda lagi di divisi marketing. Ada yang memanggil dia Bebeb juga, lho....
Kami di internal tim, biasanya hanya memanggil dengan sebutan Mas Latief, Mas La, atau Babeh. Dia itu ya babehnya anak-anak yang aslinya adalah bawahannya di kantor.
“Nov, besok bagian ini lo yang handle ya. Gue lupa masih ada kerjaan lain. Kite bagi badan,” ujar dia sekali waktu.
Dasar saya memang suka ragu, jawaban yang sering terlontar pun, “Apa gak apa-apa gw yang handle, mas?”
“Emang kenapa? Bisa, kan?” itu saja jawaban baliknya.
Ya begitu itu cara Mas Latief biasanya menantang saya dalam pekerjaan, apalagi untuk model garapan baru.
Kalau perlu, mimik muka dan gesturnya dibuat seserius mungkin. Tujuannya cuma satu, saya tak menolak.
Saat garapan usai, dia lagi juga yang akan bertanya. “Gimana, Nov? Hahahaha....”
Tawa di ujung pertanyaan seusai garapan itu kentara benar nada jail. Tengil.
“Gue sengaja, nyemplungin lo biar pe-de! Lo lihat, orang yang gak kelihatan bisa itu karena gak pe-de. Kalau dijalanin, pasti bisa. Next, gue mau lo bisa begitu ya!”
Model “nyemplungin” orang seperti itu lalu jadi semacam trademark dia. “Gayanya Mas Latief" untuk tim Latip Ads—pelesetan dari tim native ads alias nama lain content marketing, sebutan tim kami di kalangan internal pada suatu masa.
Mas Latief, dari sekian tipe atasan yang pernah mengisi hari-hari saya, mungkin dia adalah yang paling berbeda.
Tidak butuh waktu lama untuk akrab dengannya. Gayanya yang khas “Betawi banget”, guyonan-guyonannya, bikin saya atau partner kerja yang pernah berkoordinasi dengan dia tidak segan.
“Pekerjaan kite enggak susah, Nov. Jangan mikir jauh-jauh dulu kalo cari ide. Yang penting fondasi. Nih ya, gue kasih tahu. Kerjaan kite ini bagaimana cara bikin (maaf) tai jadi emas. Paham, enggak? Orang harus terpukau dulu,” ujar dia sering kali.
Gamblang, blak-blakan, dan apa adanya. Pun kalau dia sedang mumet soal kerjaan atau hal lain, hampir selalu saya jadi orang pertama di kantor yang dapat kabar lebih dulu.