Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KALEIDOSKOP 2019: Kontroversi RKUHP, Demo Mahasiswa, hingga Penundaan Pembahasan

Kompas.com - 24/12/2019, 08:43 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun 2019 menjadi tahun yang kontroversial bagi pemerintah dan DPR. 

Tahun ini, DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tingkat I dalam rapat pleno di Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Sepuluh fraksi di DPR dan pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dalam rapat pleno di Komisi III DPR itu sepakat untuk membawa pengesahan RKUHP pada tingkat II yaitu sidang paripurna.

Dalam tersebut, Menkumham Yasonna Laoly merasa bangga atas capaian bersama DPR dalam merampungkan RKHUP.

"Ini adalah sebuah karya monumental," ucap Yasonna.

Kendati demikian, tak seperti pembahasan RUU yang biasa dilakukan secara terbuka, DPR membahas RKUHP secara tertutup dan tidak dilakukan di Kompleks Parlemen.

Baca juga: Polemik RUU KUHP Bikin Wisatawan asal Australia Ini Gelisah

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, pasal-pasal yang sebelumnya menjadi perdebatan sudah disepakati bersama pemerintah dalam rapat panja, termasuk tujuh isu yang menjadi pengganjal proses pembahasan.

Ketujuh isu itu yakni soal hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat), pidana mati, penghinaan terhadap presiden, tindak pidana kesusilaan, tindak pidana khusus, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Menurut dia, tujuh isu tersebut dibahas dalam rapat panja di DPR (14/12/2019) dan rapat tertutup di Hotel Fairmont, Minggu (15/9/2019).

"Sudah semua. iya (rapat tertutup di Hotel Fairmont). Paralel, RUU Pemasyarakatan dulu baru RKUHP," kata Arsul.

Penolakan RKUHP

Rapat tertutup tersebut menuai kritik dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP karena pembahasan RKUHP tak melibatkan masyarakat sipil dan informasi terbaru pun sulit diperoleh.

"Kami juga tidak dapat mengakses informasi atau dokumen apapun dari hasil rapat tertutup tersebut," ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Anggara Suwaju kepada Kompas.com, Senin (16/9/2019).

Anggara mengkritik rapat tertutup DPR dan pemerintah dalam membahas RKUHP dilakukan pada akhir pekan dan dilakukan di sebuah hotel.

Padahal, setiap pasal yang dibahas akan berdampak pada kehidupan masyarakat ke depannya.

Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembahasan rancangan undang-undang seharusnya dilakukan secara terbuka.

Oleh sebab itu, ia meminta pengesahan RKUHP ditunda.

"Pembahasan RKUHP yang tertutup jelas menciderai kepercayaan dan amanat rakyat. RKUHP dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat. Pengesahannya harus ditunda," ucap Anggara.

Pasal bermasalah dalam RKUHP

DPR dan pemerintah kekeh untuk mengesahkan RKHUP di tengah banyak kelompok masyarakat yang meminta pembahasan ditunda untuk membahas ulang pasal-pasal dalam RKUHP tersebut.

Pasal-pasal yang dianggap kontroversial yakni delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden (Pasal 218-220), delik penghinaan terhadap lembaga negara (Pasal 353-354), delik kesusilaan (Pasal 414-419), serta delik penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal 240-241).

Baca juga: RKUHP soal Penghinaan Presiden, Kumpul Kebo, hingga Unggas, Ini Penjelasan Menkumham

Pasal yang banyak dikritik masyarakat yakni soal penghinaan terhadap presiden. Sebab, aturan tersebut dinilai membatasi kebebasan berekspresi dan tak sejalan dengan demokrasi.

Pasal 218 tentang Penghinaan terhadap Presiden RKHUP Ayat (1) itu berbunyi: Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Sementara itu, Ayat (2) dalam pasal itu berbunyi: Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Namun, Menkumham Yasonna Laoly menjelaskan, dalam delik aduan pasal, ada pengucilan, yaitu apabila dilakukan untuk kepentingan umum.

Ia juga mengatakan, setiap orang bisa ditangkap aparat penegak hukum apabila presiden dan wakil presiden itu yang melaporkan atau aduan secara tertulis.

"Istilah yang digunakan bukan penghinaan tetapi penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wapres, yang pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri presiden atau wakil presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah," papar Yasonna, Jumat (20/12/2019).

Kemudian, Pasal pemidanaan soal aborsi dimuat dalam Pasal 470 Ayat (1) RKUHP.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com