JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi mengingatkan, Menko Polhukam Mahfud MD tidak sembarangan menuding bahwa ada pasal-pasal pesanan yang sengaja dibeli untuk kepentingan pihak tertentu dalam proses legislasi.
Baidowi mengatakan, sebaiknya Mahfud menyampaikan bukti-bukti undang-undang dan peraturan daerah (Perda) mana yang dibuat atas pesanan atau dibeli.
"Lebih baik tunjukkan saja bukti-bukti UU ataupun perda yang lahir akibat pesanan seseorang ataupun kelompok," kata Baidowi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (20/12/2019).
Baca juga: Mahfud MD: Ada Pasal yang Dipesan dan Dibeli dalam Proses Legislasi
"Jika tidak bisa ditunjukkan, maka publik juga akan curiga jangan-jangan RUU yang diajukan pemerintah juga pesenan," lanjut dia.
Baidowi mengatakan, pernyataan Mahfud itu sangat liar sehingga dapat menimbulkan terganggunya hubungan antarlembaga negara.
Baidowi menjelaskan, yang memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah DPR, pemerintah dan DPD.
Baca juga: PSHK Pesimistis DPR Selesaikan 50 RUU Prolegnas Prioritas 2020
Oleh karena itu, ia mempertanyakan siapa dari tiga lembaga negara itu yang berani melakukan transaksi pasal dalam proses legislasi.
"Sebagaimana ketentuan UU tentang PPP bahwa yang berhak mengajukan dan membahas Prolegnas itu ada DPR, pemerintah dan DPD. Nah, yang mana yang dianggap pesanan?" ujar dia.
Selama menjadi wakil rakyat, Baidowi sendiri mengaku belum pernah menemukan praktik seperti itu dalam pembuatan sebuah legislasi.
Baca juga: Tok! DPR Sahkan 248 UU Prolegnas 2020-2024
"Kalau pesanan rakyat ya memang seharusnya, tapi tidak ada (indikasi pasal-pasal pesanan) saya belum nemukan," pungkas Baidowi.
Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, pembuatan peraturan hukum di Indonesia kerap kali kacau balau.
Menurut Mahfud, tidak jarang ada pasal-pasal pesanan atau aturan hukum yang dibeli untuk kepentingan tertentu dalam proses legislasi sebuah peraturan perundang-undangan.
"Problem kita itu sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau balau, ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada," kata Mahfud dalam acara "Temu Kebangsaan: Merawat Semangat Hidup Bersama" di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2019).
Baca juga: Periode Pertama, Jokowi Dinilai Tak Berkomitmen Serius soal Legislasi HAM
Pasal-pasal pesanan itu, kata Mahfud, tidak hanya muncul dalam undang-undang, tetapi juga peraturan daerah.
"Disponsori oleh orang-orang tertentu agar ada aturan tertentu," ujar dia.
Di samping itu, masih banyak peraturan yang tumpang tindih, mulai dari bidang perpajakan hingga perizinan.
20 Desember 2019, Presiden Joko Widodo melantik 5 pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga dewan pengawas KPK di Istana Negara.
Kelima nama pimpinan KPK tersebut adalah Firli Bahuri sebagai Ketua. Sedangkan Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, Lili Pintauli Siregar, serta Alexander Marwata akan menjadi Wakil Ketua komisi antirasuah.
Jokowi mengatakan:
“Yang kita pilih ini adalah orang-orang baik. Memiliki kapabilitas, memiliki integritas, memiliki kapasitas dalam hal-hal yang berkaitan dengan wilayah hukum. Memang ini kita pilih dari sudut-sudut yang berbeda-beda. Ada yang mantan hakim, ada yang hakim aktif, ada juga yang mantan KPK, ada juga yang dari akademisi. Ini sebuah kombinasi yang sangat baik, sehingga bisa memberikan fungsi. Terutama fungsi control dan pengawasan terhadap komisioner KPK”.
Selain pimpinan KPK, Preside Joko Widodo juga melantik 5 dewan pengawas KPK. Kelima nama tersebut adalah
1. Artidjo Alkostar - Mantan Hakim Mahkamah Agung
2. Albertina Ho - Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang
3. Syamsuddin Haris - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
4. Harjono- Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi
5. Tumpak Hatarongan Panggabean - Mantan Wakil Ketua KPK (2003-2007)