JAKARTA, KOMPAS.com – Sosok yang akan duduk di kursi Dewan Pengawas KPK mulai terang benderang.
Presiden Joko Widodo secara lugas menyebut beberapa nama yang kemungkinan ditunjuk pada jabatan tersebut.
"Ada hakim Albertina Ho. Itu tapi belum diputuskan loh ya. Pak Artidjo, saya ingat tapi lupa dan belum diputuskan," kata Jokowi saat kunjungan kerja ke Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (18/12/2019).
Baca juga: Soal Dewan Pengawas KPK, Saut: Yang Utama Itu Hati Nuraninya
Presiden kemudian menambahkan nama Ketua KPK jilid I, Taufiequrachman Ruki yang juga diusulkan sebagai calon anggota dewan pengawas.
Catatan pemberitaan, dua nama pertama yang disebutkan oleh Presiden Jokowi memang terkenal soal menghukum koruptor.
Keduanya adalah koruptor mafia pajak yang 'diseret' Albertina menikmati dinginnya lantai prodeo.
Baca juga: Jokowi Rampungkan Susunan Dewan Pengawas KPK, Ini Bocoran Latar Belakangnya
Sedangkan Artidjo dikenal sebagai sosok algojo Mahkamah Agung (MA) yang tidak kenal ampun dengan koruptor yang mengajukan kasasi.
Tidak sedikit dari mereka justru diberikan ‘hadiah tambahan’ oleh Artidjo.
Bahkan, menurut penuturan Artidjo sendiri, ada sejumlah terpidana korupsi yang justru mencabut berkas permohonan ketika mengetahui permohonannya akan disidangkan dirinya.
Sementara, Ruki dikenal sebagai mantan Ketua KPK periode 2003-2007 serta pernah kembali ditunjuk menjadi pelaksana tugas (Plt) Ketua KPK pada 2015 untuk menggantikan Abraham Samad yang kala itu terjerat kasus pidana.
Kini, Ruki diketahui aktif sebagai Ketua Mahkamah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak 2016.
Baca juga: Albertina Ho, Artidjo, hingga Ruki Diusulkan Jadi Dewan Pengawas KPK
Presiden Jokowi menekankan, nama Albertina hingga Ruki belum difinalkan. Ada dua nama lain yang akan duduk sebagai dewan pengawas.
"Tapi belum difinalkan karena kan hanya lima. Adanya dari hakim, ada dari jaksa, ada dari mantan KPK, ada dari ekonom, ada dari akademisi, ada dari ahli pidana," kata Jokowi.
Cendekiawan Muslim Buya Syafii Maarif berharap, Presiden Jokowi bisa memilih orang yang memiliki ragam perspektif dan spektrum yang luas untuk mengisi jabatan dewan pengawas, selain harus memiliki pemahaman hukum yang kuat.
Selain itu, orang-orang tersebut juga harus memiliki rekam jejak yang bersih yang dapat diterima publik.
Baca juga: Soal Dewan Pengawas KPK, Syafii Maarif: Jangan Orang Cacat Rekam Jejaknya
Sementara itu, pandangan pesimis disampaikan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada.
Peneliti Pukat UGM Zainur Rohman menilai, proses seleksi dewan pengawas dilakukan Jokowi tanpa melalui proses yang transparan, independen dan akuntabel.
Sehingga, independensi mereka pun dipertanyakan kala menjabat posisi tersebut nantinya.
"Meskipun Presiden mengatakan Dewas KPK akan diisi oleh sosok-sosok yang baik, tetapi prosesnya tidak partisipatif dan tidak transparan. Presiden asal main tunjuk," kata Zainur kepada Kompas.com.
Pembentukan Dewan Pengawas KPK merupakan amanat revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Baca juga: Yusril Ihza Mahendra Tepis Gosip Akan Menjadi Anggota Dewan Pengawas KPK
Pada Pasal 37E disebutkan bahwa ketua serta anggota dewan pengawas diangkat dan ditetapkan oleh presiden.
Untuk pemilihannya, presiden membentuk panitia seleksi yang terdiri atas unsur pemerintah pusat dan masyarakat.
Ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK akan menjabat selama empat tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Namun sejak awal, Zainur menolak konsep dewan pengawas ini. Sebab, ada wewenang pro justicia yang diberikan kepada mereka sehingga muncul kekhawatiran adanya intervensi hukum di dalamnya.
Selain itu, ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK merupakan orang-orang kepercayaan kepala negara sehingga dikhawatirkan lembaga itu justru akan menjadi pintu masuk presiden untuk mengendalikan KPK.
Baca juga: Politisi Gerindra Yakin Jokowi Tunjuk Anggota Dewan Pengawas KPK yang Terbaik
Hal senada disampaikan peneliti ICW Kurnia Ramadhana. Menurut dia, siapa pun sosok yang akan menjabat posisi itu, tidak akan mempengaruhi penilaiannya terhadap independensi keberadaan Dewan Pengawas KPK.
"Siapapun yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi untuk menjadi Dewan Pengawas KPK, tidak akan mengurangi sedikit pun penilaian kami bahwa Presiden tak memahami bagaimana cara memperkuat KPK dan memang berniat untuk menghancurkannya," kata Kurnia saat dihubungi.
Sikap sebaliknya justru disampaikan Wadah Pegawai KPK.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo beralasan, Artidjo dan Albertina adalah sosok yang memiliki integritas dan sikap antikorupsi.
"Tentu saja jika benar akan menjadi hal positif karena masyarakat sudah mengenal rekam jejak, integritas dan sikap antikorupsinya, terutama Pak Artidjo Alkostar yang diketahui merupakan momok menakutkan bagi koruptor dan tak segan menghukum berat," kata Yudi dalam keterangan tertulis.
Baca juga: Bursa Dewan Pengawas KPK yang Mendapat Respons Positif
Kendati demikian, ia mengingatkan, agar nama-nama lain yang akan mengisi posisi itu juga harus memiliki kredibilitas dan integritas yang sama dengan Artidjo dan Albertina.
Hal senada juga disampaikan Komisioner KPK terpilih 2019-2023, Alexander Marwata.
Menurut dia, pengalaman Ruki dalam memimpin KPK dapat menjadi sosok yang tidak akan segan dalam mengawasi dan menegur pimpinan dan pegawai KPK yang dianggap melenceng dan melanggar kode etik.
"Pak Ruki kan mantan pimpinan KPK dua kali, yang pertama dan jilid tiga, lima. Pasti dia paham proses bisnis di KPK. Jadi, ketika ada sesuatu yang berlebihan, pasti dia paham," kata Alex saat dijumpai di Gedung ACLC KPK.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menilai ada kesalahpahaman terkait ancaman yang dilontarkan istrinya, Nevi Zuariana, terhadap Ketua DPD Gerindra Sumatera Barat, Andre Rosiade. Ancaman dilontarkan dalam sebuah grup WhatsApp.
Menurut Irwan Prayitno, istrinya tidak mengancam Andre Rosiade, melainkan ingin menasihati karena ada kesalahan data. Irwan melihat istrinya hanya ingin meluruskan komentar Andre yang salah karena dinilai membelokkan fakta dirinya ditegur Kemendagri karena ke luar negeri.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima mengatakan kasus chat tembak mati oleh Istri Gubernur Sumatera Barat termasuk ancaman kepada Andre Rosiade, maka harus ditindaklanjuti. Namun, jika menyangkut pelanggaran etika, itu merupakan ranah Mahkamah Kehormatan Dewan. Aria juga menyebut pihaknya tidak memiliki wewenang untuk memberi hukuman terhadap kasus itu.