Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KALEIDOSKOP 2019: Menteri Era Jokowi yang Berurusan Kasus Korupsi

Kompas.com - 19/12/2019, 10:47 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama tahun 2019 ada lima mantan dan satu menteri yang menjabat di era Presiden Joko Widodo, tersangkut dalam pusaran kasus dugaan korupsi.

Mereka ada yang ditetapkan sebagai tersangka dan ada pula yang dipanggil sebagai saksi di penyidikan dan persidangan sepanjang tahun 2019 ini.

Mereka adalah dua mantan Menteri Sosial, yakni Idrus Marham dan Khofifah Indar Parawansa.

Kemudian, ada mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Baca juga: KALEIDOSKOP 2019: 8 Sandi Pelaku Korupsi saat Menjalankan Aksinya

Kompas.com merangkum keterkaitan mereka dalam perkara korupsi yang ditangani KPK pada tahun 2019. Berikut rangkumannya;

1. Idrus Marham

Idrus Marham telah divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Idrus juga dihukum membayar denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan.

Idrus terjerat dalam kasus suap terkait proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.

Namun, Idrus Marham terjerat kasus korupsi bukan dalam kapasitasnya sebagai Menteri Sosial, melainkan saat menjadi Sekretaris Jenderal Partai Golkar.

Saat itu, hakim menilai Idrus Marham secara fisik tidak menikmati uang suap senilai Rp 2,250 miliar yang diperoleh dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.

Hal itu diungkapkan majelis hakim saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (23/4/2019).

"Meski secara fisik terdakwa tidak menikmati uang yang diperoleh Eni Maulani Saragih," ujar anggota majelis hakim Anwar saat membacakan pertimbangan.

Baca juga: Kasus PLTU Riau-1, Idrus Marham Divonis 3 Tahun Penjara

Mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham usai jalani pemeriksaan di KPK, Jakarta, Rabu (29/11/2011)DYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com Mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham usai jalani pemeriksaan di KPK, Jakarta, Rabu (29/11/2011)
Menurut hakim, Idrus mengetahui dan menghendaki penerimaan uang Rp 2,250 miliar yang diterima Eni Maulani Saragih.

Uang dari pengusaha Johannes Kotjo itu untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Majelis hakim menilai, Idrus secara aktif membujuk Kotjo memberikan uang kepada Eni.

Selain untuk membiayai keperluan partai, uang tersebut juga untuk membiayai keperluan suami Eni yang maju dalam pemilihan kepala daerah di Temanggung.

"Untuk meyakinkan Johannes Kotjo, terdakwa bilang 'Tolong dibantu ya'," ujar hakim.

Atas vonis itu, KPK mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Idrus menjadi 5 tahun penjara.

Baca juga: Hukuman Idrus Marham Diperberat Jadi 5 Tahun Penjara

Hal tersebut membuat Idrus melalui penasihat hukumnya Samsul Huda mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Hasilnya, MA mengurangi hukuman Idrus.

"Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi terdakwa dan membatalkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulis, Selasa (3/12/2019).

Kemudian, MA menjatuhkan pidana kepada Idrus dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan kurungan.

"Menurut majelis hakim kasasi, kepada Terdakwa lebih tepat diterapkan dakwaan melanggar Pasal 11 UU Tipikor yaitu menggunakan pengaruh kekuasaannya sebagai Plt Ketua Umum Golkar," kata Andi.

Baca juga: MA Potong Masa Hukuman Idrus Marham, PKS: Sinyal Buruk Pemberantasan Korupsi

Kini, Idrus Marham telah dijebloskan ke Lapas Cipinang oleh KPK.

Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan pernyataan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (15/11/2019).KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan pernyataan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (15/11/2019).
2. Lukman Hakim Saifuddin

Nama Lukman mencuat setelah mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy menjadi tersangka kasus dugaan suap terkait seleksi jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur.

Ruang kerja Lukman juga sempat digeledah KPK. Penyidik menyita dokumen-dokumen terkait kepegawaian serta uang Rp 180 juta dan 30.000 dollar Amerika Serikat (AS).

Selain dipanggil dalam proses penyidikan, Lukman juga pernah dipanggil sebagai saksi di persidangan untuk dua terdakwa dalam perkara ini. Mereka adalah mantan Kakanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Romahurmuziy sendiri.

Dalam persidangan, Lukman mengakui ia menerima rekomendasi nama Haris Hasanuddin dari Romahurmuziy sebagai calon Kakanwil Kemenag Jatim. Menurut Lukman, Romahurmuziy menerima usulan nama itu dari sejumlah pihak.

Baca juga: Romahurmuziy Mengaku Serahkan Keputusan Calon Kakanwil Kemenag Jatim ke Lukman Hakim

Meski demikian, Lukman mengaku tak terpengaruh dan merasa mandiri dalam menentukan posisi seseorang di kementeriannya.

Ia juga membantah memerintahkan panitia seleksi meloloskan Haris ke peringkat tiga besar calon Kakanwil Kemenag Jatim, meski yang bersangkutan pernah terkena sanksi disiplin.

Lukman mengatakan, dirinya lebih memilih Haris dibandingkan tiga calon lain, lantaran Haris yang hanya ia kenal. Haris juga dinilainya punya kemampuan baik dan sudah menjadi Pelaksana tugas Kakanwil Kemenag Jatim.

Namun, ia membantah itu sebagai perintah ke panitia seleksi. Sebab, keputusan siapa yang lolos menjadi Kakanwil Kemenag Jatim ada di tangan panitia seleksi.

Baca juga: Eks Menag Lukman Hakim Bantah Perintahkan Pansel Loloskan Haris Hasanuddin dalam Seleksi Jabatan

Sementara, sejumlah saksi di persidangan dari panitia seleksi mengaku diperintah oleh Lukman untuk meloloskan Haris dalam peringkat tiga besar.

Ada pula saksi yang menyebut Lukman pernah mencoba meminta usulan nama pengisi Kakanwil Kemenag Jatim ke Romahurmuziy.

Romahurmuziy pun juga mengakui Lukman menanyakan usulan nama pengisi calon Kakanwil Kemenag Jawa Timur ke dirinya.

Selain Haris, Romahurmuziy mengusulkan nama Amin Mahfud, Kabag Tata Usaha Kanwil Kemenag Jawa Timur untuk menjadi calon Kakanwil Kemenag Jawa Timur.

Di persidangan, Lukman juga membantah melihat dan menerima secara fisik uang Rp 20 juta dan Rp 50 juta yang diberikan oleh Haris Hasanuddin.

Ia pun juga mengklarifikasi uang yang disita oleh KPK di ruang kerjanya merupakan dana sisa perjalanan dinas dalam negeri dan luar negeri, dana operasional menteri dan honor sebagai pembicara dalam pelatihan, pembinaan dan lainnya.

Sedangkan, lanjut Lukman, uang dollar AS yang disita berasal dari pihak atase Kedutaan Arab Saudi karena mereka puas dengan kinerja Kementerian Agama Indonesia menyelenggarakan ajang Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Asia Pasifik.

Baca juga: Lukman Hakim Ungkap Asal Usul Uang di Ruang Kerjanya yang Disita KPK

Lukman mengaku sempat menolak pemberian itu. Namun mereka memaksa agar Lukman menerimanya. Mereka menyarankan Lukman memanfaatkan uang itu untuk kepentingan sosial.

"Saya sempat bersurat ke yayasan penyelenggara yang sumber uang itu lalu kemudian saya nyatakan bahwa saya menerima ini dan minta masukan bagaimana pendayagunaan dana ini," ujar Lukman saat bersaksi untuk Romahurmuziy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (4/12/2019).

Sidang pemeriksaan saksi untuk mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy, terdakwa kasus dugaan suap terkait seleksi jabatan di Kementerian Agama Jawa Timur KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN Sidang pemeriksaan saksi untuk mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy, terdakwa kasus dugaan suap terkait seleksi jabatan di Kementerian Agama Jawa Timur
3. Khofifah Indar Parawansa

Tak hanya Lukman yang disebut dalam perkara seleksi jabatan Kemenag Jawa Timur. Nama mantan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa juga disinggung. Khofifah juga pernah diperiksa sebagai saksi di penyidikan perkara itu.

Nama Khofifah sudah disinggung Romahurmuziy sejak jadi tersangka KPK. Ia mengaku menerima usulan nama Haris Hasanuddin dari Khofifah dan salah satu pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur bernama Asep Saifuddin Chalim.

Di persidangan, Romahurmuziy mengaku keduanya kerap bertanya ke dirinya soal perkembangan nominasi Haris dalam proses seleksi jabatan.

Ia pun juga mengaku sempat bertanya ke Khofifah apakah nama Haris Hasanuddin direstui Khofifah sebagai calon Kakanwil Kemenag Jawa Timur.

Baca juga: Romy Mengaku Tanya Khofifah soal Restu agar Haris Hasanuddin Jadi Kakanwil Kemenag

Dalam kesaksiannya di persidangan, Khofifah merasa tak pernah merekomendasikan nama Haris ke Romahurmuziy.

Hanya saja, Khofifah mengakui dirinya berkomunikasi dengan Romahurmuziy via Whatsapp. Kebetulan saat itu ia diminta untuk hadir dalam sebuah kampanye di Jawa Timur.

"Saya bilang Insya Allah saya usahakan hadir. Kemudian karena saya diminta Kiai Asep tanya bahwa Pak Haris sesungguhnya sudah selesai dan masuk nominator utama kenapa tidak dilantik-lantik?. Saya diminta untuk tanya, kebetulan mas Romy WA. Saya jawab di WA itu awas keanginan (kelamaan) jadi sifatnya adalah pertanyaan," kata Khofifah di persidangan Juli 2019 silam.

Baca juga: Khofifah Merasa Tak Pernah Rekomendasikan Haris Hasanuddin Jadi Calon Kakanwil Kemenag

Khofifah menegaskan, Asep yang memintanya untuk menanyakan Romahurmuziy soal perkembangan nominasi Haris.

"Pak Romy jawab itu apa yang dimaksud ini Haris? Saya jawab iya. Karena pesannya (Asep) begitu tolong tanya Pak Romy, nah kebetulan Beliau (Romy) WA," kata dia

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi (tengah) mengenakan rompi orange usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Jumat, (27/9/2019). Imam Nahrawi ditahan KPK dalam kasus dugaan suap dana hibah dari pemerintah terhadap KONI melalui Kemenpora. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.
ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi (tengah) mengenakan rompi orange usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Jumat, (27/9/2019). Imam Nahrawi ditahan KPK dalam kasus dugaan suap dana hibah dari pemerintah terhadap KONI melalui Kemenpora. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.
4. Imam Nahrawi

Nama Imam Nahrawi mencuat dalam perkara dugaan suap terkait alokasi dana hibah dari Kemenpora ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Perkara itu awalnya menjerat Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johny E Awuy. Perkara itu juga menjerat eks Deputi IV Kemenpora Mulyana beserta dua mantan staf Kemenpora, yakni Adhi Purnomo dan Eko Triyanto.

Imam Nahrawi pun sempat diperiksa sebagai saksi dalam proses penyidikan.

Sejumlah saksi di persidangan menyebut ada aliran suap ke Imam melalui staf pribadinya, Miftahul Ulum.

Mantan Bendahara Pengeluaran Pembantu Kemenpora, Supriyono mengungkap diperintah Ulum mencari uang untuk keperluan menteri.

Baca juga: Mantan Bendahara Kemenpora Akui Serahkan Rp 400 Juta kepada Staf Imam Nahrawi

Ending pun juga pernah menyebut "Mr X" yang merujuk pada sosok Imam, Ulum dan staf protokol menteri Arief Susanto.

Namun, dalam persidangan baik Imam, Ulum dan Arief membantah pernah meminta atau menerima uang dari pihak KONI.

Atas hal itu, jaksa KPK menganggap ketiganya melakukan pemufakatan jahat diam-diam. Sebab, keterangan yang diberikan ketiganya tidak relevan terhadap barang bukti dan keterangan saksi lain.

Sementara itu, majelis hakim dalam pertimbangan putusan Ending meyakini Imam menerima Rp 11,5 miliar dari KONI melalui Ulum dan Arief.

KPK pun mengembangkan perkara tersebut, dan akhirnya menetapkan Imam dan Ulum sebagai tersangka pada 18 September 2019. KPK menduga Imam menerima suap sebesar Rp 26,5 miliar pada rentang waktu 2014-2018.

Baca juga: Jalan Panjang Imam Nahrawi Jadi Tersangka KPK...

Diduga, uang itu merupakan commitment fee yang diterima atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh KONI.

Imam pun mengundurkan diri sebagai Menpora di kabinet.

Saat ditahan KPK, Imam Nahrawi mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan takdir yang harus dijalani. Ia mengaku akan mengikuti proses hukum yang ada.

"Sebagai warga negara tentu saya harus mengikuti proses hukum yang ada. Dan saya yakin hari ini takdir saya, dan setiap manusia akan menghadapi takdirnya," kata dia saat akan memasuki mobil tahanan KPK, Jumat (27/9/2019).

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sekaligus politisi Partai Nasdem saat menghadiri acara Partai Nasdem di Swissbelinn Hotel Karawang, Minggu (7/4/2019).

KOMPAS.com/FARIDA FARHAN Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sekaligus politisi Partai Nasdem saat menghadiri acara Partai Nasdem di Swissbelinn Hotel Karawang, Minggu (7/4/2019).
5. Enggartiasto Lukita

Mantan Menteri Perdagangan era Jokowi ini disebut-sebut sejak mantan anggota Komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso terjerat dalam kasus dugaan suap terkait kerja sama penyewaan kapal PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) dan PT Pupuk Indonesia Logistik (PILOG) serta penerimaan gratifikasi.

Sebab, salah satu dugaan penerimaan gratifikasi itu berkaitan dengan urusan pembahasan Peraturan Menteri Perdagangan terkait lelang gula rafinasi di DPR.

Pengacara Bowo saat itu, Saut Edward Rajagukguk sempat mengatakan ada seorang menteri yang terkait dengan uang Rp 8 miliar yang disita KPK. Namun, Edward tak menyebutkan nama secara spesifik.

Baca juga: Nama Enggartiasto Lukita Disebut dalam Sidang Suap Impor Gula

Pada proses penyidikan, Enggar dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai saksi. Namun, ia berkali-kali tak hadir dengan sejumlah alasan, seperti melakukan perjalanan dinas ke luar negeri.

Padahal saat itu, Enggartiasto melalui Kementerian Perdagangan telah menyampaikan surat ke KPK bahwa dirinya menjanjikan bisa hadir pada tanggal 18 Juli 2019 silam.

Dalam proses persidangan, jaksa KPK tak memanggil Enggar sebagai saksi untuk Bowo. Namun di persidangan, Bowo mengaku menerima uang dari utusan Enggar senilai 200.000 dollar Singapura.

Pengakuannya itu disampaikan saat menjawab pertanyaan jaksa KPK Ikhsan Fernandi.

"Kalau yang dari utusan menteri, yang nerima 200.000 dollar Singapura, saat itu pembahasan Permendag (Peraturan Menteri Perdagangan)?" tanya jaksa Ikhsan ke Bowo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (23/10/2019).

Baca juga: Bowo Sidik Mengaku Terima Uang 200.000 Dollar Singapura dari Utusan Enggartiasto Lukita

Permendag yang dimaksud adalah terkait lelang gula kristal rafinasi.

"Begini ceritanya Pak, pada waktu kita sidang di Komisi VI saya dengan Pak Enggar. Pak Enggar bilang sama saya nanti ada orang menghubungi Pak Bowo ya. Saya bilang ya, silakan saja ketemu," jawab Bowo.

Jaksa kemudian membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Bowo yang menyebutkan, pada awal rapat kerja Komisi VI DPR dengan Kementerian Perdagangan, banyak anggota Komisi VI yang tidak setuju dengan peraturan tersebut.

Menurut paparan jaksa, hal itu lantaran Permendag tersebut banyak melanggar peraturan perundang-undangan dan berpotensi merugikan pengusaha.

Bowo, dalam BAP-nya menyebutkan bahwa seusai rapat komisi, Enggar membisikkan pesan bahwa Bowo nanti akan dihubungi oleh seseorang.

Baca juga: Untuk Ketiga Kalinya, Mendag Enggartiasto Tak Penuhi Panggilan KPK

Jaksa memaparkan, sekitar pertengahan 2017, ada seseorang menelepon Bowo yang mengaku sebagai utusan Enggar. Utusan tersebut mengajak Bowo bertemu di sebuah restoran di Hotel Fairmont, Jakarta.

Berdasarkan keterangan Bowo dalam BAP, di akhir perbincangan, utusan Enggar memberikan uang tersebut dalam amplop diiringi pesan, "Tolong dikawal Permendag". Saat itu, Bowo belum bisa memastikan, namun ia menerima amplop uang itu.

"Ya, benar, Pak. Betul adanya ada orang Pak Enggar, saya lupa namanya. Kemudian dia bicara panjang lebar, dan dia menyebutkan hal seperti itu. Tapi faktanya di dalam rapat lelang gula rafinasi itu saya memang menolak Permendag terkait gula rafinasi itu," jawab Bowo.

6. Yasonna Laoly

Yasonna pernah dipanggil KPK sebagai saksi untuk tersangka mantan anggota Komisi II DPR Markus Nari yang terjerat kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP), Selasa (25/6/2019) silam.

Saat itu, Yasonna merupakan anggota Komisi II DPR untuk periode 2009-2014.

Dalam perkara e-KTP, Yasonna disebut menerima 84.000 dollar AS dalam proyek e-KTP sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, 2017 silam.

Baca juga: Diperiksa Terkait Kasus E-KTP, Yasonna Dikonfirmasi soal Markus Nari dan Risalah Rapat

Dalam pemeriksaan untuk Markus, mantan anggota Komisi II DPR itu mengaku hanya dikonfirmasi penyidik KPK soal pengetahuannya tentang Markus Nari.

"Ya sebagai saksi untuk Markus Nari, itu saja. Kan sama-sama anggota Komisi II. Jadi ya sama seperti keterangan saya sebelumnya, sebagai warga negara ya datang, terbuka saja," kata Yasonna di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (25/6/2019).

Selain itu, Yasonna juga mengaku dikonfirmasi risalah-risalah rapat soal pembahasan e-KTP tersebut.

Ia mengatakan, materi pemeriksaan tak jauh berbeda dengan pemeriksaan terhadap tersangka-tersangka sebelumnya.

"Enggak ada yang berbeda, hanya tambahan saja, kenal nggak Pak Markus? Sama-sama anggota Komisi II, ya ikut pembahasan. Ada beberapa risalah rapat yang itu dicek, biasalah. Sama aja, tapi kan harus dikonfirmasi lagi (oleh penyidik)," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com